Oleh. Budiana Irmawan*


Problematik Sistem Pemerintahan

Amandemen konstitusi UUD 1945 sejak reformasi 1998 membawa implikasi luas terhadap sistem pemerintahan dan partai politik. Implikasi itu meliputi empat poin penting, yaitu (i) pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, (ii) pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, (iii) penguatan peran legislatif/DPR, dan (iv) melikuidasi lembaga tertinggi negara MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Amandemen konstitusi didasari semangat reformasi menata demokratisasi yang lebih matang dan terlembaga. Perubahan empat poin penting di atas dimaksudkan membuka ruang partisipasi rakyat langsung dan menegaskan sistem pemerintahan presidensialisme.

Sistem pemerintahan presidensialisme menempatkan seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memegang mandat rakyat melalui mekanisme Pemilihan Presiden (Pilpres). Dalam menjalankan pemerintahan, presiden mempunyai hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri. Posisi menteri adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Inilah sistem pemerintahan presidensialisme yang membedakannya dengan parlementarisme.

Dalam parlementarisme, seorang kepala pemerintahan atau perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen pun bisa mengajukan mosi tidak percaya dan membubarkan kabinet. Secara umum, sistem parlementarisme ini adalah “supremasi legislatif”. Mengingat sistem pemerintahan parlementarisme meleburkan kekuasaan eksekutif dan legislatif (fusion of powers), sementara presidensialisme merupakan eksekutif tunggal terpisah dengan kekuasaan legislatif (separation of powers). Pada era orde seorang mandataris MPR kekuasaannya dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui Sidang Umum MPR. Kendati mereka yang duduk di MPR sudah ditetapkan loyalis pemerintah. Karena itu, sistem pemerintahan pada era orde baru seringkali disebut kuasi-presidensialisme.

Konsekuensi berikutnya bagian dari agenda reformasi adalah kebebasan mendirikan partai politik wujud dari sistem multipartai dan pelaksanaan Pemilu langsung. Selama 18 tahun menjalani masa reformasi sudah melaksanakan tiga kali Pemilu langsung. Namun, praktis sistem pemerintahan presidensialisme belum berjalan efektif yang ditandai banyak kasus kebijakan eksekutif tersandera oleh parlemen (DPR) yang mengarah kepada situasi politik deadlock.

Diktum Scott Mainwaring bahwa sistem pemerintahan presidensialisme tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Seorang presiden terpilih kendati dipilih mayoritas rakyat berpotensi selalu kesulitan mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif. Kalaupun ada dukungan tidak pernah konstan yang membawa kemungkinan besar terjadi kebuntuan. Pengalaman Koalisi Gabungan partai politik ketika pemerintahan SBY atau ketidakkonsistenan Koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi menggambarkan situasi tarik-menarik kepentingan multipartai dengan eksekutif.

Hal penting lain fungsi kelembagaan partai politik makin jauh menjadi pilar demokrasi. Partai politik belum optimal melakukan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan publik, kaderisasi, dan pendidikan politik. Bahkan tidak sedikit pengurus partai politik terjerat masalah hukum.

Oleh karena itu, proses penyempurnaan terus dilakukan dengan upaya revisi UU Pemilu Presiden, UU Pemilu Legislatif, dan UU Penyelenggara Pemilu, serta wacana amandemen konstitusi ke-5.

Hasil gambar untuk election


Poin Krusial RUU Pemilu

Evaluasi paradigmatik sistem pemerintahan dan kelembagaan kepartaian di atas, berimplikasi kepada pembahasan beberapa poin krusial RUU Pemilu sebagai berikut:

  1. Keputusan MK tanggal 3 Januari 2014 yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU No. 42 tahun 2008 terkait Pilpres dan Pileg dilaksanakan serentak. Dasar pemikiran Pilpres dan Pileg serentak disamping soal efisiensi anggaran juga untuk melahirkan pemerintahan efektif dan stabil. Dengan Pemilu serentak ada coattail effect atau keterpilihan calon presiden yang diusung mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari partai politik atau koalisi partai politik. Dengan demikian konflik eksekutif-legislatif, instabilitas, dan bahkan jalan buntu politik sebagai komplikasi skema sistem presidensial berbasis sistem multipartai diharapkan tidak menjadi kenyataan.
  2. Desain lain untuk penyederhanaan partai politik adalah mengurangi besaran daerah pemilihan. Apabila besaran daerah pemilihan (district magnitude) anggota DPR diturunkan dari tingkat sedang (3-10 kursi) menjadi tingkat kecil (3-6 kursi), maka jumlah partai politik yang mampu memenuhi ambang batas perwakilan pasti berkurang.
  3. Sistem pencalonan proporsional tertutup. Penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut calon dalam daftar partai (party list). Disain sistem seperti ini juga memiliki konsekuensi menciptakan disiplin para kader dan pelembagaan partai politik. Kelemahannya tentu kewenangan elie partai politik dominan, karena itu pengaturan persyaratan calon harus terukur jelas.
  4. Penghitungan suara dengan metode kuotadengan sisa suara (largest remainder) atau hare quota perlu dievaluasi dan dipertimbangkan metode Divisor Sainte-Lague yang memiliki derajat proporsionalitas paling tinggi dan lebih netral.
  5. Prinsip keadilan dan kesetaraan bagi semua peserta Pemilu diperlukan pengaturan audit dan pelaporan dana kampanye. Pengaturan dana kampanye untuk lebih memudahkan KPU melakukan verifikasi
  6. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan partisipasi rakyat langsung dijamin konstitusi dan diwujudkan oleh hak setiap warga negara mendirikan partai politik. Prinsip ini memberikan arti partai politik peserta Pemilu tidak boleh dipersulit. Penyederhanaan atau pembatasan hanya dilakukan melalui mekanisme Pemilu yang merupakan momentum lima tahun sekali menguji ideologi atau program kerja partai politik. Jadi, partai politik peserta Pemilu bisa banyak, tetapi kemudian harus konsekuen dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
  7. Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memilih Anggota DPR, Anggota DPD, dan anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.
  8. Profesionalitas KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Merujuk ketentuan Pasal 22E UUD 1945 Pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Bila dihubungkan dengan penyelenggaraan pemilu serentak, maka perlu dipikirkan pola rekrutmen anggota KPU yang ideal.
  9. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kembali membahas RUU Pemilu sebagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif 2019. RUU Pemilu yang diajukan pihak pemerintah ini pada dasarnya menyatukan dua UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wakil Presiden, dan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan Pemilu, dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sumber Image: dnaindia.com

*Peneliti Sinergi Riset Nusantara Consultant. *Peracik dan penikmat arabika specialti @ngopimovement

**Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi “Membedah RUU Pemilu” Jumat, 21 Oktober 2016. Sinergi Riset Nusantara (SRN) & Sosiapolitika di Butterfield Kitchen Cafe Bandung.