kewarganegaraan, menteri, esdm, archandra
status kewarganegaraan archandra bilal dewansyah ngopimovement

Penulis: Bilal Dewansyah*

Persoalan kewarganegaraan Arcandra Tahar, Menteri ESDM yang baru saja diberhentikan tidak lantas selesai. Banyak yang menganggap Arcandra menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless), karena kehilangan kewarganegaraan Indonesai sekaligus statusnya sebagai warga negara Amerika Serikat (AS). Namun ada yang terlupakan, UU Kewarganegaraan (UU No. 12/2006) bukan hanya mengenal asas anti kewarganegaraan ganda yang menjadi sebab musabab Arcandra diberhentikan, namun juga mengakomodasi asas anti tanpa kewarganegaraan. Artinya, asas hukum kewarganegaraan mensyaratkan kondisi mutlak yang harus dipenuhi ketika seorang WNI akan kehilangan kewarganegaraannya: sepanjang tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Dengan konstruksi pikir demikian, ketika Arcandra kehilangan status kewarganegaraan Indonesia, sekaligus kewarganegaraan AS, maka tidak serta merta statusnya dibiarkan stateless.

Tulisan tidak bermaksud untuk semata-mata membela Arcandra, yang sebenarnya dapat saja dipersoalkan dari aspek hukum keimigrasian karena tindakannya menggunakan Paspor Indonesia, padahal yang bersangkutan juga sudah menjadi warga negara AS. Namun perlu diingat, Arcandra kembali ke Indonesia karena diminta Presiden untuk mengabdi sebagai Menteri, dan diberhentikan pula oleh Presiden karena  persoalan yang tentu saja dimulai oleh pemerintah sendiri: tidak memverifikasi terlebih dahulu validitas status WNI Arcandra sebagai syarat utama pemangku jabatan Menteri (Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara). Artinya, persoalan ini dapat saja menimpa setiap WNI yang bermukim di luar negeri, ketika berhadapan dengan otoritas Pemerintah kita yang seringkali membuat keputusan strategis yang tidak matang atau mengesampingkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Akar Masalah

Ketika Arcandra diangkat menjadi Menteri ESDM Indonesia, status kewarganegaraan AS yang melekat padanya, saat itu pula hilang. Kondisi demikian diatur secara tegas dalam hukum kewarganegaraan Amerika Serikat, khususnya dalam Seksi 349 (a) (4) Immigration and Nationality Act, yang mengatur kehilangan status kewarganegaraan AS ketika menduduki jabatan, kedudukan atau pekerjaan pada pemerintahan negara asing, yang juga mendapatkan kewarganegaraan dari negara asing tersebut, atau jabatan yang mensyaratkan sumpah setia, persetujuan atau pernyataan kesetiaan kepada negara asing. Kehilangan status kewarganegaraan AS tersebut, harus disertai adanya maksud untuk melepaskan (relinquishing) kewarganegaraan AS. Artinya, jika seorang warga negara AS melakukan tindakan atau memenuhi kondisi yang menyebabkan kehilangan kewarganegaraan, namun tidak ada maksud untuk melepaskan status kewarganegaraannya, maka yang bersangkutan tidak otomatis kehilangan kewarganegaraan AS atau dapat memperkarakannya di kemudian hari disertai dengan bukti-bukti yang kuat. Masalahnya, Arcandra memang sejak diminta menjadi Menteri telah mengembalikan Paspor AS kepada otoritas di negara tersebut, sehingga memang ada intensi untuk melepaskan kewarganegaraan AS. Untuk alasan kehilangan tersebut, ketentuan di AS mengatur bahwa yang bersangkutan kehilangan statusnya sebagai warga negara AS ketika telah bertempat tinggai di luar AS. Artinya, ketika yang bersangkutan mengembalikan Paspor AS dan kembali ke Indonesia, statusnya sebagai warga negara AS hilang.

Persoalannya, ketika Arcandra menjadi warga negara AS pada tahun 2012, statusnya sebagai WNI juga hilang, karena memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, mengangkat sumpah atau janji setia kepada negara asing dan memiliki paspor negara asing (Pasal 23 huruf a, f dan h UU Kewarganegaraan). Hanya saja, informasi demikian baru diketahui belakangan, sehingga proses formal publikasi kehilangan status WNI Arcandra dalam Berita Negara RI atas dasar Pasal 29 UU Kewarganegaraan belum dilakukan. Namun hal tersebut, tidak berarti menunda kehilangan status WNI bagi Arcandra. Kita memang punya persoalan pada level peraturan pelaksana dari UU Kewarganegaraan. Peraturan yang saya maksud yaitu PP No. 2/2007 yang mengatur bahwa kehilangan kewarganegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Pasal 34 ayat (3)).  Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UU Kewarganegaraan, sehingga perlu dikesampingkan. Dua rentetan peristiwa tersebut, tentu menyebabkan Arcandra menjadi tanpa kewarganegaraan.

Prinsip Anti Tanpa Kewarganegaraan

Kondisi Achandra yang tanpa kewarganegaraan, sangat bertentangan dengan karakter kewarganegaraan sebagai hak asasi yang menjadi jembatan bagi pemenuhan hak – hak lain (the right to have rights). Konstruksi demikian, juga dianut Pasal 28D ayat (4)UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan tentu harus sejalan dengan konstruksi konstitusional tersebut. Oleh karena itu, asas anti tanpa kewarganegaraan menjadi salah satu prinsip pokok dalam UU Kewarganegaraan, selain asas anti kewarganegaraan ganda, kecuali bagi anak (lihat Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan). Konklusinya, Arcandra harus dianggap kembali berstatus WNI, tanpa harus melalui prosedur naturalisasi. Namun yang harus diingat, status Arcandra sebagai WNI bukan karena secara administratif tidak pernah ditetapkan kehilangan kewarganegaraan dengan keputusan menteri, namun semata-mata karena hukum menjamin bahwa siapa pun ia, selama berstatus WNI tidak akan mudah kehilangan kewarganegaraannya, apalagi yang menjadikannya tanpa kewarganegaraan (stateless). Ini harus menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah untuk memahami hukum bukan hanya kumpulan pasal, tetapi juga asas-asas hukum yang menjadi pijakan.

*Peminum Kopi Robusta kelas akut di @ngopimovement

**Tulisan ini dimuat ulang dari publikasi sebelmunya pada kolom Opini Harian Pikiran Rakyat