Zizek Fantasi Ideologi
zizek dalam fantasi ideologi NKRI Harga mati

Penulis : Rolip Saptamaji

Si Rolip
Rolip Saptamaji

Anda pasti tak asing lagi dengan slogan “NKRI Harga Mati”. Slogan ini bisa anda temukan di spanduk-spanduk ormas maupun spanduk yang dikeluarkan oleh TNI. NKRI Harga Mati adalah doktrin ideologis yang khas, doktrin ini hanya ramai ketika menjelang peristiwa-peristiwa politik atau historis kenegaraan ataupun respon politik spesial mobilisasi ormas yang gencar mempropagandakan “Hantu Komunisme”, rasisme anti etnis tertentu atau aliran kepercayaan tertentu. Pengulangan dan penerimaan slogan ini juga membuat konsep negara kesatuan beralih dari konsep menjadi keyakinan yang diterima tanpa bertanya sehingga segala sesuatu yang tidak mencerminkan rasa “kesatuan” dianggap muncul dari pengaruh atau kekuatan eksternal. Pada saat yang sama, “NKRI Harga Mati” menjelma menjadi ideologi tersendiri.

Akar Konsep Negara Kesatuan di Indonesia

Konsepsi negara kesatuan republik Indonesia sendiri berasal dari konsep yang ditawarkan oleh Soepomo pada sidang Dokuritsu Junbi Cosokai pada 31 mei 1945. Konsep negara kesatuan yang ditawarkan oleh Soepomo mengenai negara kesatuan berbeda dengan konsep negara integralistik Jerman yang pada masa itu direpresentasikan oleh pemerintah fasis Nazi dibawah Adolf Hitler. Soepomo lebih menekankan nilai kolektivisme dalam konsep negara kesatuannya, seperti yang dijelaskan pada kutipan berikut:

Negara tidak bersikap atau bertindak sebagai seseorang yang mahakuasa, yang terlepas dari seseorang-seseorang manusia dalam daerahnya dan yang mempunyai kepentingan sendiri, terlepas dari kepentingan warga-warga negaranya sebagai seseorang -paham individualis-.(Soepomo, 1945)

Akan tetapi, pada masa Orde Baru, konsepsi negara kesatuan dijadikan indoktrinisasi yang tercakup dalam asas tunggal pancasila dan wawasan nusantara. Konsep negara kesatuan menjadi konsep monolitik yang sakral dan tabu untuk dipertanyakan atas nama stabilitas politik dan harmoni sosial dengan kata lain menjadi model integralistik. Orba mempromosikan kesatuan sebagai harmoni mutlak yang harus dijaga oleh seluruh anggota masyarakat dengan mewaspadai semua gerak gerik atau tindakan yang dicurigai dan bahkan direpresi.

Negara kesatuan versi Orba menjelma sebagai ideologi yang tidak hanya represif melalui instrumen militer tapi juga persuasive melalui instrumen pendidikan dan indoktrinisasi wajib di segala lini. Dimasa Orba, propaganda mengenai kesatuan menggunakan kedua alat negara tersebut secara maksimal seperti pada negara totalitarian lainnya. Propaganda kesatuan Orba berakar pada fantasi mengenai masyarakat yang harmonis dan pasif secara politik. Oleh karena itu minoritas masyarakat seringkali dijadikan representasi dari elemen yang mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat harmonis tersebut. Ideologisasi ini tidak hanya menyentuh elemen luar dari masyarakat namun juga meresap dalam kesadaran psikologis masyarakat yang disebut oleh Zizek sebagai fantasi realitas.

Slavoj Zizek: Fantasi dan Ideologi

Slavoj Zizek seorang filsuf kontemporer dari Universitas Ljublana Slovenia menggunakan pendekatan Psikoanalis Lacanian yang dipadu dengan pendekatan Marxian untuk membongkar peran ideologi dalam aktivitas keseharian individu dan bagaimana Ideologi secara integral menyimpan potensi kontestasi. Zizek memadukan model analisa strukturalis dengan psikoanalisis yang berpusat pada subjek secara bersamaan. Ideologi, oleh Zizek ditempatkan pada konotasi fantasi subjek atas realitas yang dibentuk oleh struktur yang diasumsikan sebagai “Yang Lain Besar” dalam konsep Lacanian. Upaya ini bukan cuma sulit tapi juga mengandung problematikanya sendiri.

Pembahasan Ideologi Zizek kembali pada diktum filosofis Marx tentang Ideologi yaitu “sesuatu yang kita tidak mengetahuinya, tapi kita melakukannya” (Zizek, 1989). Zizek mendefinisikan ideology sebagai cara individu memahami hubungan mereka dengan masyarakat. Namun jika Marx merumuskan definisi tersebut dengan pemahaman yang solid mengenai mekanisme masyarakat, Zizek menjelaskan bagaimana cara kerja definisi tersebut pada individu.

Zizek membagi penilaian tentang ideologi menjadi tiga bagian yaitu doktrin, kepercayaan dan ritual. Ketiga aspek tersebut sangat bersesuaian dengan analisis Hegel dan Marx tentang agama  sebagai contoh utama dari ideologi. Aspek doktrin berpijak pada ide-ide dan teori yang dijadikan pembenaran ilmiah terhadap asumsi-asumsi ideologi. Aspek kepercayaan ideologis merujuk pada manifestasi eksternal dari ideologi yang dapat berupa aparatusnya maupun kesepakatan sosial. Aspek terakhir yaitu aspek ritual mengacu pada internalisasi doktrin yang spontan dan alamiah. Berkebalikan dengan Marx yang menyatakan ideologi sebagai kesadaran palsu yang berfungsi menunda atau mendistorsi realitas fundamental, Zizek berpendapat bahwa realitas sendirilah yang memang tidak dapat direproduksi tanpa mistifikasi ideology sebagaimana dijelaskan oleh Althusser sebagai relasi imajiner masyarakat dan negara. Ideology menawarkan konstruksi simbolis atas realitas sebagai jalan untuk melarikan diri dari efek traumatis yang nyata.

Melalui pendekatan psikoanalisis, Zizek menjelaskan relasi imajiner ini sebagai fantasi yang berakar secara inheren pada realitas dan bekerja secara permanen. Fantasi yang dimaksudkan oleh Zizek bukanlah kepura-puraan namun motivasi tindakan. Penjelasan Zizek mengenai ideology yang bersejajaran dengan fantasi dapat menjelaskan bagaimana ideologisasi tentang kesatuan dan negara kesatuan Orba yang masih berakar pada masyarakat pasca Orba. Pada kasus rasisme, ataupun chauvinisme di Indonesia yang kemudian bergulir menjadi konflik berdarah dan ketegangan sosial, fantasi mengenai kesatuan berkontradiksi secara antagonis dengan realitas masyarakat Indonesia yang mejemuk. Zizek dalam The Plague of Fantasy (1997) menjelaskan ketegangan identitas antar etnis dalam kutipan berkut:

Pada tataran etnis, sesuatu yang serupa berlangsung ketika subyek yang bukan “salah satu dari kita” mempelajari bahasa kita dan bersusah payah menuturkannya, berperilaku sebagai bagian dari “komunitas kita”; reaksi otomatis setiap rasis adalah bahwa si asing itu dengan berbuat demikian, mencuri dari kita substansi identitas kita. (Zizek, 1997;70)

Kekuasaan diktatorial semacam Orba memandang bahwa masyarakat sejatinya harmonis, kalaupun terjadi masalah maka biang onarnya adalah kelompok minoritas dalam hal ini Orba menampilkan citra etnis Tionghoa sebagai representasi kesenjangan sosial. Namun begitu, upaya Orba menghimbau pengusaha Tionghoa untuk terlibat dalam pembangunan merupakan bagian dari upaya manipulasi opini publik untuk menampilkan figure kambing hitam abadi ketidakmerataan pembangunan yang bisa dileihat dari kesenjangan ekonomi antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Paparan tersebut senada dengan paparan Zizek bukunya Enjoy Your Symptomps (2001) dalam kutipan berikut;

Yang tampak sebagai perintang bagi identitas utuh masyarakatpada dirinya sendiri sesungguhnya justru merupakan kondisi positifnya: dengan membubuhkan ke dalam diri orang Yahudi peran agen asing yang menghadirkan disintegrasi dan antagonisme dalam organisme sosial, imaji fantasi dari masyarakat sebagai keutuhan harmonis yang konsisten jadi mustahil. (Zizek, 2001;90)

Pada kasus rasisme terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, fantasi rasis yang muncul dari kecurigaan tersebut bertransformasi menjadi hasrat yang mengatakan bahwa “seandainya si Cina/si Arab/si Jepang/si Bule tidak disini maka hidup pasti akan lebih baik, masyarakat saya pasti akan lebih harmonis” (Robet,2011;152). Pun begitu dengan fantasi hiteria komunisme yang dianggap sebagai teror yang mengendap dalam masyarakat. Ketakutan akan komunisme lebih kompleks lagi karena di dompleng oleh citra visual yang dibuat menakutkan, juga perangkat naratif yang berisi semua tabu masyarakat yang seakan tidak mungkin dilanggar jika tak ada komunisme. Ketakutan akan komunisme juga dikaitkan dengan mitos kebangkitan kekuatan jahat sekaligus fantasi teror dari kekuatan militer dan politik diluar Indonesia. Tidak jarang kemudian, fantasi ini dikaitkan dengan RRC, Rusia ataupun negara komunis lainnya untuk mendramatisir teror dalam pikiran masyarakat. Akibatnya sekuat apapun negara berperan untuk menghapus rasisme taupun phobia komunisme dalam pandangan masyarakat fantasi tersebut tidak dapat dihapuskan karena berakar pada eksistensi masyarakat itu sendiri.

Ideologi sebagai ketergelinciran terhadap yang Riil

foto diambil dari situs suaranews
foto diambil dari situs suaranews.com

Ide kesatuan Orba atau paham integralisme yang masih dilestarikan hingga sekarang dalam bentuk yang lebih halus mengasumsikan bahwa masyarakat yang harmonis dan utuh secara total mesti dicapai dan dihadirkan dengan menegasi perbedaan dan mereproduksinya pada fantasi harmoni integralisme mengingkari realitas bahwa masyarakat tidak pernah utuh. Kegagalan menerima kenyataan bahwa msyarakat tidak pernah utuh dan teguhnya keyakinan terhadap totalitas membentuk pandangan rasis, dikotomis dan kecurigaan berlebih terhadap semua perbedaan di masyarakat dan selalu berupaya mencari kambing hitam atas fakta ketidakutuhan masyarakat. Artinya, selama masih ada ilusi mengenai masyarakat organis yang harmonis dan utuh selama itu uga mekanisme pencarian kambing hitam bekerja.

Pandangan Zizek mengenai Ideologi menyatakan bahwa ideology berakar pada fantasi dan pembentukannya bersandar pada jarak permanen antara yang simbolik dan yang rill. Dalam polemik totalitas harmonis negara kesatuan dalam ideology integralisme NKRI, pemahaman masyarakat mengenai negara kesatuan merupakan ketergelinciran terhadap eksistensi yang riil yaitu kemajemukan komposisi masyarakat Indonesia. Ketergelinciran tersebut di dorong oleh peran ideologisasi konsep kesatuan yang dilakukan Orba untuk menyembunyikan jarak yang simbolik dengan yang riil.

Totalitas harmonis dalam ideology NKRI yang populer dalam slogan “NKRI Harga Mati”
merupakan sisa hegemoni Orba yang masih mengakar dalam pemahaman masyarakat Indonesia mengenai negara kesatuan. Pemahaman totalitas harmonis tersebut merupakan pemahaman yang problematis karena bekontradiksi secara antagonis dengan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan komunitas majemuk yang berdiri diatas identitas kulturalnya masing-masing. Pemaksaan totalitas harmonis terhadap realitas majemuk merupakan kegagalan negara dan masyarakat memahami ketidakutuhan masyarakat itu sendiri, sementara ketidakutuhan selalu dipandang dalam sudut peyoratif. Konsepsi kesatuan dalam ide mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan redefinisi konsep yang mampu melepas uniformitas dan totalitas harmonis Orba. Disinilah pemikiran politik kontemporer berperan untuk mengisi kekosongan dan membuka sekat pemikiran politik klasik yang terpaku pada perdebatan mengenai institusi politik.

Daftar Bacaan

Adian, Donny Gahral. 2011. Setelah Marxisme; Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. Jakarta. Penerbit Koekoesan.

Althusser, Lois. 1969. For Marx. The Penguin Press

Althusser, Lois. 2007. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi (Terj). Yogyakarta. ResistBook

Aning, Florebita. 2006. Lahirnya PANCASILA Kumpulan Pidato BPUPKI.Yogyakarta:Media Pressindo

Butler, Judith, Ernesto Laclau and Slavoj Zizek. 2000. Contigency, Hegemony and Universality: Contemporary Dialoges on The Left. London. Verso

Klinken, Gerry Van. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi diIndonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Myers, Tony. 2003. Slavoj Zizek. London. Routledge

Robet, Robertus.2010. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi menurut Slavoj Zizek. Tangerang. Marjin Kiri.

Zizek, Slavoj. 2009. First as Tragedy Then as Farce. London. Verso

_________. 1997. The Plague of Fantasies. London. Verso

_________. 2001. Enjoy Your Symptomp! Jaques Lacan in Hollywood and Out. London.Verso

foto: http://www.suaranews.com/2016/05/penting-jika-ada-atribut-pki-di.html