Tak sampai setahun lagi menjelang Pemilu, perseteruan kelompok #2019gantiPresiden Vs #2019TetapJokowi semakin meningkat. Para pengusung tagar jelas mewakili kelompok pemilih ‘garis keras’ (hard voters) salah satu kandidat – meskipun yang punya tagar ganti presiden masih malu-malu mengakui sebagai pendukung Prabowo – Sandiaga Uno. Terlalu dini menyimpulkan bahwa hingar-bingar politik menjelang pemilu hanya akan diwarnai oleh dua kelompok tersebut, karena masih ada kelompok masyarakat yang belum menentukan pilihan (undeciced voters) dan – tentu saja – kelompok Golput.

Di setiap penyelenggaraan Pemilu, Golput selalu menjadi momok menakutkan bagi pemerintah. Hal ini karena kehadirannya dianggap sebagai aib yang mencoreng tidak hanya bagi kredibilitas penyelenggaraan pemilu, tetapi kualitas demokrasi secara keseluruhan. Tingginya tingkat Golput dapat dimaknai 2 hal. Pertama, secara administratif adalah ketidakmampuan KPU sebagai penyelenggara dalam mengurusi hal-hal administratif seperti DPT, ketersediaan surat suara, ataupun melakukan sosialisasi. Akibatnya, banyak warga negara yang kehilangan hak suaranya sehingga tidak dapat memilih.

Kedua, Golput sebagai suatu perilaku politik. Hal ini artinya Golput sebagai pilihan warga negara yang secara sadar untuk tidak memilih siapapun kandidat yang ada dalam pemilu. Perilaku ini bisa merujuk kepada sikap apatisme terhadap setiap proses politik elektoral, skeptis terhadap para politisi, atau sebagai suatu bentuk protes/ perlawanan baik terhadap politisi maupun sistem yang ada. Meskipun bermacam-macam motivasi dan tujuan, penyebab Golput dalam kelompok ini secara umum adalah : Ketidakpuasan.

Sulit untuk mengukur berapa persen Golput disebabkan karena kesadaran masyarakat, karena belum ada hasil riset yang meneliti lebih jauh tentang itu. Tetapi, fenomena Golput menunjukan trend peningkatan, justru ketika Pemilu diselenggarakan secara lebih terbuka (selepas di bawah Pemilu manipulatif Orde Baru), seperti data berikut :

Data tersebut belum ditambah dengan jumlah Golput dalam Pilkada serentak yang mencapai hingga 30,86% pada tahun 2015 lalu. Kondisi pilkada serentak 2017-2018 juga tidak lebih baik, di beberapa daerah tingkat Golput sangat tinggi misalnya di Bengkulu yang mencapai 45%, bahkan di Kabupaten Gresik yang mencapai 56,5%.

Dalam berbagai literatur politik disebutkan pemilu sebagai manifestasi dari demokrasi. Pada pemilu yang lebih demokratis, partisipasi pemilih seharusnya meningkat, karena rakyat lebih diberi kebebasan dalam menentukan siapa, bentuk dan rupa rezim yang akan berkuasa dalam 5 tahun ke depan. Kenyataannya justru sebaliknya. Mau berdalih apapun, kondisi ini menunjukan adanya peningkatan baik dalam hal ketidakbecusan penyelenggara pemilu maupun ketidakpuasan rakyat terhadap sistem politik yang ada.

Golput Sebagai Suatu Sikap

Banyak pihak yang menyalahkan Golput sebagai suatu sikap politik terhadap pemilu. Mereka menilai Golput adalah suatu wujud sikap yang tidak bertanggung jawab dalam hidup bernegara. Mereka yang Golput dinilai tidak berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah selanjutnya karena toh mereka sama sekali tidak peduli terhadap proses politik ini. Golput sebagai suatu gerakan juga dinilai tidak akan menghasilkan apa-apa, justru beresiko melahirkan penguasa yang tidak diinginkan, seperti hasil Pemilu Presiden AS yang melahirkan Donald Trump yang dinilai sebagai ancaman bagi demokrasi global.

Pandangan tersebut terlalu berlebihan. Padahal, golput sebagai perilaku hanya berlaku pada objek pada Pemilu dan para pemegang kekuasaan saja, tidak terhadap kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Sayangnya, tidak ditempatkan sebagai suatu mekanisme kontrol demokrasi yang sahih dari rakyat terhadap para politisi dan penyelenggara Pemilu. Betul bahwa dalam alasan paling logis, pemilu adalah bukan memilih yang terbaik menjadi penguasa, tetapi mencegah yang terburuk untuk berkuasa. Tetapi, apa gunanya memilih apabila hanya melahirkan penguasa yang berbeda wajah tetapi berwatak sama? Kondisi terkini kita dapat melihat secara telanjang bagaimana politik identitas dipertontonkan oleh baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo; bagaimana tim dari kedua belah kandidat banyak  diisi oleh mereka yang diduga sebagai para pelanggar HAM; bagaimana hampir seluruh pimpinan partai tersangkut kasus korupsi; bagaimana hampir tidak ada politisi yang mau memperkarakan soal-soal pokok rakyat seperti PHK dan penggusuran; atau bagaimana karut-marutnya kondisi perekonomian. Rakyat malah dipertontonkan dengan gimmick-gimmick politik yang usang dan terus di daur ulang demi elektabilitas.

Dapatkah menggantungkan harapan terhadap strategi mendompleng partai-partai yang ada, padahal sejak 1999 telah banyak aktivis gerakan rakyat masuk di parlemen, yang terbukti tumpul mendobrak oligarki kekuasan politik masa lalu? Alih-alih membawa agenda perubahan, para politisi muda ini malah menjadi bagian dari pelanggengan nilai dan bentuk-bentuk politik yang semakin meminggirkan rakyat.

Rakyat yang menilai bahwa tidak ada satupun partai-partai maupun politisi yang dapat mewakili aspirasinya, berhak untuk protes dalam bentuk tidak menyalurkan suaranya dalam pemilu. Jelas ini tamparan sangat keras bagi wajah kekuasaan seperti dalam bentuk yang lain, kita bisa melihat bagaimana partai dan politisi di Kota Makassar yang kalah dengan Kotak Kosong pada Pilkada beberapa bulan lalu.

Dalam hal ini, Golput sebagai alarm yang mengingatkan bahwa ada mekanisme demokrasi yang tidak berjalan. Hal ini adalah pilihan yang lebih baik, dibandingkan terus menerus memanipulasi kesadaran rakyat untuk memilih mereka “yang terbaik di antara yang terburuk”.

Golput Sebagai Suatu Gerakan

Meskipun jumlahnya signifikan, Golput belum menjadi sebuah gerakan seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir di Swedia (2018), Partai Komunis Perancis (2017), atau Arif Budiman dkk pada Pemilu tahun 1971. Masalahnya, hanya menjadikan Golput sebagai suatu ekspresi semata memang tidak akan berarti apa-apa karena bebalnya telinga politisi akan sangat mungkin suara golput – meskipun besar – akan diabaikan.

Oleh karenanya, menjadikan Golput sebagai sebuah gerakan dapat menjadi pilihan terbaik apabila kita tidak ingin menempatkan ekspresi kekecewaan hanya sebatas angka-angka statistik semata dalam laporan KPU. Harus ada pihak yang berani mendobrak keputusasaan rakyat, karena siapapun pemenang pemilu 2019 ini, posisi rakyat adalah sama.

Tujuan dari gerakan Golput dalam Pemilu bukan untuk mencapai suatu kemenangan politik, tetapi untuk meningkatkan kesadaran kritis rakyat terhadap bobroknya perilaku politisi dan rendahnya keinginan untuk mendobrak oligarki kekuasaan. Gerakan Golput akan menunjukan betapa rakyat menginginkan adanya perubahan signifikan dari perilaku politisi dan perbaikan sistem politik secara mendasar, tidak hanya menunggu perubahan itu datang sendirinya melainkan melalui suatu cara kritik yang keras. Hal ini akan mendorong elemen-elemen demokratis dan progresif dalam tubuh partai politik – yang selama ini tidak berani – untuk muncul dan merubah tatanan politik partai yang lebih demokratis. Dampaknya, rakyat akan mendapatkan pilihan-pilihan lebih baik pada pemilu berikutnya.

Memang terdengar sangat normatif, karena solusi dari sistem kekuasaan yang bobrok adalah menggantinya dengan yang lebih baik. Masalahnya, menempuh strategi elektoral sebagai mekanisme mengganti kekuasaan membutuhkan jalan yang panjang, tidak hanya bisa dilakukan menjelang Pemilu. Membangun partai politik, sebagai sebuah bentuk tertinggi dari gerakan politik adalah keniscayaan. Modal yang paling berharga dalam membangun kekuatan politik baru adalah kesadaran. Suara-suara kekecewaan yang termanifestasi dalam sikap golput perlu diorganisasikan untuk membangun kekuatan politik baru. Siapkah?


Referensi Berita :

www.idea.int

https://kumparan.com/@kumparannews/infografis-angka-golput-dari-era-sukarno-ke-jokowi

https://regional.kompas.com/read/2018/06/29/20164351/golput-pilkada-kota-bengkulu-capai-45-persen

https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/28/06/2018/angka-golput-di-pilkada-serentak-2018-masih-tinggi


Penulis: Dikdik R. Mulyana. Arabica Coffee Addict.