Dikdik R. Mulyana

Penulis: Dikdik R. Mulyana (Peneliti di Smart Assistance)

 

Meskipun sudah sedikit sayup, kita masih ingat bagaimana kasus perbedaan hasil survey elektabilitas para kandidat Presiden maupun hasil perhitungan cepat (quick count) Pemilu Presiden tahun lalu yang menunjukan perbedaan hasil dari beberapa lembaga survey. Suatu kasus yang menyebabkan keraguan publik terhadap kredibilitas lembaga survey, bahkan secara tidak sadar (dan menyedihkan tentunya) beberapa tokoh politik meragukan metodologi ilmiah sebagai upaya peramalan data hasil pemilhan umum.

Berlatar fenomena yang sedikit berbeda, survey opini publik mengenai kepuasan terhadap Kinerja Pemerintah Kota Bandung Mei lalu juga menuai kontroversi, meski tensi-nya tidak setinggi Pilpres tahun lalu. Survey yang dilakukan oleh Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Unpad bekerja sama dengan Lingkar Studi dan Informasi (eLSID) menjadi bahan perbincangan yang cukup ramai karena hasil survey menyatakan terjadi penurunan keyakinan publik Kota Bandung secara signifikan terhadap kepemimpinan RK-Oded sebesar 27% (dari 87% pada tahun 2013 menjadi hanya 60% di tahun 2015). Hasil lainnya menunjukkan terjadi penurunan signifikan harapan masyarakat terhadap kepemimpinan RK-Oded (dari 93,6% pada tahun 2013 menjadi 67,33% di tahun 2015). Hasil ini tentunya menjadi pertanyaan : Benarkah ? Mengingat yang menjadi objek survey adalah kinerja Ridwan Kamil,  sosok pemimpin muda yang visioner, kreatif, dan dalam waktu yang berdekatan dengan release survey baru saja mengharumkan nama Bandung hingga ke pentas Dunia dengan kesuksesan penyelenggaraan Peringatan 60 tahun Konfrensi Asia-Afrika.

Perdebatan menjadi ramai, dari meragukan kedibilitas survey hingga ketua PSPK Unpad yang juga dosen di kampus yang sama, DR.Muradi, di-bully habis-habisan oleh para netizen di Kota Bandung. Peneliti abal-abal, akademisi yang berpolitik, PNS yang menjadi tim sukses Capres, dan banyak cercaan ditujukan kepada sang peneliti. Tidak ada drama twitwar, pelaporan pencemaran nama baik, atau perkelahian di pelataran Stadion. Tapi sebagian publik masih meragukan kredibilitas survey tersebut.

Beberapa hari lalu (25 Juni 2015), survey mengenai persepsi masyarakat Kota Bandung terhadap program-program pembangunan yang digagas oleh Pemkot Bandung kembali di-release. Kali ini lembaga yang melakukannya masih bernama Unpad juga, yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Dinamika Pembangunan Universitas Padjajaran (PDP-LPPM Unpad). Pemaparan survey menunjukan hasil yang berbeda, dimana sebanyak 71,8% sampel yang diteliti menyatakan puas dengan kinerja Pemerintah Kota Bandung. Selain itu, hasil survey menunjukan sebanyak 98% responden mendukung program – program yang dicanangkan Pemkot Bandung.

Meskipun tidak ada pernyataan eksplisit, mau tidak mau hasil survey ini seolah menegasikan survey yang dilakukan oleh PSPK dan eLSID sebelumnya. Publik pun disodorkan dua hasil survey yang berbeda mengenai tingkat kepuasan publik Kota Bandung terhadap kinerja Pemkot Bandung.

Menakar Kepuasan Publik, Sebuah Tinjauan Konseptual dan Metodologi

Melayani kepentingan publik merupakan tugas utama pemerintah. Dalam konsep pelayanan pemerintahan (governance), masyarakat merupakan konsumen (pengguna) dari layanan yang disediakan birokrasi pemerintah, baik dalam hal barang, jasa ataupun layanan administratif. Dalam hal ini, kepuasan publik sangat berkaitan dengan sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan birokrasi pemerintah.

Referensi kepuasan secara konseptual lebih banyak diperoleh dari teori-teori manajemen pemasaran, dan sering menjadi dasar bagi pengukuran kepuasan publik yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintahan. Kotler dan Keller (2009) menyebutkan bahwa kepuasan ditentukan oleh ekspektasi dan persepsi. Ekspektasi merupakan harapan atau keyakinan sebelum mencoba atau membeli suatu produk  yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut, sedangkan persepsi adalah sebuah keunggulan atau manfaat suatu jasa menurut pelanggan yang dibentuk saat akhir dari konsumsi sebuah jasa. Jika persepsi lebih kecil dari harapan maka pengguna (konsumen) merasa tidak puas dan tidak senang. Begitu juga sebaliknya ketika persepsi yang dirasakan sesuai atau bahkan melebihi harapan, maka konsumen akan puas.

Oliver dalam konsep disconfirmation paradigm (Tjiptono, 2008) menyebutkan bahwa kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dengan kinerja atau hasil yang diharapkan. Konsumen memiliki harapan terhadap kualitas produk yang mereka beli, apabila kinerja produk dapat memenuhi bahkan melebihi harapan, maka hal tersebut akan menciptakan kepuasan. Dalam disconfirmation paradigm, kepuasan dirumuskan sebagai evaluasi purnabeli, di mana persepsi terhadap kinerja jasa yang dipilih memenuhi harapan pelanggan. Disconfirmation paradigm ini kemudian banyak digunakan oleh lembaga pelayanan publik dalam menakar tingkat kepuasan pelanggannya.

Beberapa penjelasan singkat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa kepuasan sangat erat dengan dua dimensi utama, yaitu harapan dan persepsi terhadap kenyataan (kinerja) yang diperoleh. Pengukuran kepuasan dilakukan dengan melakukan perbandingan antara harapan dan persepsi, apabila harapan melebihi kinerja (kenyataan), dapat disimpulkan publik tidak akan merasa puas, sedangkan kinerja (kenyataan) yang diperoleh sesuai bahkan melebihi harapan akan menghasilkan kepuasan.

Berkaca kepada dua survey yang dilakukan baik oleh PSPK-eLSID maupun PDP LPPM Unpad, penulis tidak menemukan adanya suatu upaya membandingkan antara ekspektasi dengan persepsi terhadap kenyataan yang diperoleh secara lebih mendalam sebagai dasar dari penyimpulan kepuasan publik. Pemaparan data mengenai ekspektasi publik sebenarnya telah dipaparkan, tetapi sayangnya tidak dikorelasikan dengan persepsi terhadap kenyataan yang diperoleh. Hal ini mengindikasikan penyimpulan data mengenai kepuasan yang masih parsial dan berkesan terburu-buru. Pertanyaan pentingnya adalah, sejauh mana referensi konseptual digunakan dalam survey kepuasan publik tersebut? Harus dipahami, sebuah survey dalam dunia praktis akan lebih fleksibel dalam penggunaan landasan konseptual dibandingkan dengan penelitian untuk kepentingan karya akademik. Meskipun demikian, berkaca pada latar belakang lembaga survei dan pelaku survey yang berasal dari lingkungan akademik, sudah seharusnya penggunaan basis teori yang lebih relevan  menjadi faktor penting dalam klaim tingkat kredibilitas suatu hasil survey disamping metodologi yang digunakan.

Selain itu harus dipahami bahwa opini bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah kondisi psikologis, emosi, dan terpaan media. Soemirat dan Ardianto (2010) menyatakan bahwa pendapat adalah pandangan seseorang mengenai sesuatu. Jadi pendapat itu bersifat subjektif. Dengan demikian maka pendapat adalah evaluasi atau penilaian dan bukan fakta. Karena bukan fakta, maka ia mudah berubah atau diubah tergantung pada situasi sosial yang berlaku. Artinya pendapat masing-masing responden survey memerlukan adanya uji validasi terlebih dahulu. Apabila pendapat seorang responden langsung dipaparkan apa adanya, tentunya akan mengurangi bobot kredibilitas suatu survey tersebut.

Dalam hal ini penulis tidak menemukan adanya suatu upaya dalam melakukan pengujian data sebelum mengambil kesimpulan dari dua survey yang telah dilakukan. Khusus untuk survey yang dilakukan PDP LPPM Unpad, terjadi penyimpulan yang dilakukan secara sembrono, dimana dukungan publik terhadap program Pemerintah Kota Bandung diproksikan sebagai suatu ukuran tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung (www.tempo.co, 25 Juni 2015). Tentunya, mengacu kepada landasan konseptual mengenai kepuasan publik yang telah dipaparkan sebelumnya, dukungan terhadap program tidak berarti menunjukan kepuasan, tetapi lebih kepada suatu ekspektasi dan penilaian positif publik terhadap rencana-rencana pemerintah Kota Bandung yang harus diuji kenyataannya. Dengan kata lain, ekspektasi bukanlah kepuasan.

Penutup

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memberikan judgment terhadap kredibilitas salah satu survey yang telah dilakukan, tetapi merupakan pendapat dalam memperbaiki kualitas suatu survey agar lebih dapat membangun kepercayaan publik. Karena survey opini publik yang dilakukan lebih bersifat generalisasi dimana pendapat suatu sampel kelompok masyarakat dianggap mewakili keseluruhan populasi, sehingga apabila penggunaan landasan konseptual maupun metodologi tidak dilakukan secara lebih hati-hati maka akan menimbulkan suatu bias dalam penarikan kesimpulan. Hal ini akan menimbulkan pro dan kontra terhadap kredibilitas suatu survey itu sendiri.