Sekali lagi, ini adalah salah satu pemandangan kota. Seharusnya, sesuai titah konstitusi kita Pasal 34; (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pada dasarnya kita dibawa kepada realitas yang semakin jauh dari kesejahteraan. Keberpihakan konstitusi kepada anak terlantar dan fakir miskin, tidak menjadi jiwa bagi elit penguasa. Sebab sadar atau tidak, keberadaan pengemis (dan gepeng) yang nampak ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota di Indonesia, bukan karena datang dari langit. Ia hadir karena keterpaksaan dan terjepit oleh roda kehidupan yang keras dan penuh ketidak-adilan. Sementara di sisi lain, hari ini pun kita masih dihadapkan dengan realitas lain: berapa banyak kekayaan negara ini dikorupsi, ditilep dan digunakan oleh segelintir elit, borjuasi untuk memperkaya golongan, kelompok atau pun diri sendiri.
Jika konstitusi kita bicara “martabat kemanusiaan”, apakah wakil-wakil rakyat kita di senayan “memahami” apa yang sesungguhnya yang berlaku detik ini dengan martabat bangsa-negara ini? Lagi-lagi slogan Nawa Cita hanya sekedar Tumbal Kekuasaan, yang dipaksakan untuk ditelan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.*. Peterparkitt