Bilal Dewansyah*

Masalah status keimigrasian para pesepak bola asing mulai mendapat titik terang, namun belum tuntas. 22 April lalu Kemenakertrans telah menerbitkan Izin Mempekerjakan Tenaga kerja Asing (IMTA) untuk beberapa klub sepakbola yang menggunakan pesepakbola dan pelatih asing. Langkah positif ini merupakan salah satu hasil kesepakatan Kemenakertrans, Ditjen Imigrasi Kemenhukham, Kemenpora, BOPI, PSSI dan PT. LIB selaku operator Liga 1 pada 20 April lalu. Namun IMTA saja tidak cukup, karena izin tersebut bukan untuk pemain, melainkan untuk klub sepak bola yang menggunakan pesepakbola asing. Di lain pihak, berdasarkan UU Keimigrasian, pesepakbola asing secara individual tetap harus mengurus Visa Tinggal Terbatas (VITAS) – mengingat visa yang dimiliki dipastikan berupa visa kunjungan – yang akan dikonversi menjadi Izin Tinggal Terbatas (ITAS) atau yang popular disebut KITAS.

Jika konsisten pada hukum, khususnya UU Keimigrasian, pesepakbola asing yang belum memiliki KITAS tetap tidak dapat merumput karena izin tinggal yang dimiliki saat ini (izin tinggal kunjungan), tidak dapat digunakan sebagai dasar bekerja. Faktanya, masih ada klub sepakbola yang tetap memainkan pesepakbola asing hanya dengan mengandalkan IMTA, namun tanpa KITAS dengan alasan disetujui PSSI dan operator Liga 1. Namun hingga saat ini, selain peringatan, tidak ada sinyal penindakan serius terhadap pelanggaran tersebut, khususnya dari pihak Imigrasi.  Artinya, pemerintah sekali lagi melakukan pembiaran atas pelanggaran hukum keimigrasian atas kesepakatan aktor privat.

Kedaulatan negara vs aturan internal sepakbola

Keimigrasian sering diasosiasikan sebagai cermin kedaulatan suatu negara. Bahkan, sejak globalisasi menjadi fakta yang tak terbendung, keimigrasian diangggap sebagai “benteng terakhir kedaulatan” (Legomsky : 2009). Namun berkaca dari pembiaran pelanggaran hukum keimigrasian oleh klub sepak bola, kedaulatan dalam konteks keimigrasian bukan soal kewenangan negara membuat hukum keimigrasian, khususnya untuk menseleksi orang asing, namun persoalan kemampuan dan keinginan negara mengendalikan pergerakan masuk dan keluarnya orang, khususnya orang asing ke wilayah negara. Ini yang disebut oleh Stephen D. Krasner (1999) sebagai “kedaulatan interdependen” dalam hal pergerakan informasi, barang, orang dan modal lintas negara.

Secara umum, kemampuan negara mengendalikan orang asing terbatas pada aspek teknis, misalnya persoalan perbatasan negara yang luas atau jejaring penyelundup manusia yang apik membuat imigran ilegal mudah sekali masuk ke wilayah Indonesia. Namun untuk isu pesepakbola asing, ketidakmampuan negara justru disebabkan karena otoritas Imigrasi tidak mampu mengendalikan perilaku otoritas lainnya yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan kompetisi Liga 1, utamanya PSSI dan klub sepak bola. Padahal ada ancaman pidana bagi pemain asing tersebut berdasarkan UU Keimigrasian karena dianggap menyalahgunakan izin tinggal (kunjungan) tidak sesuai tujuannya (untuk bekerja). Pun pihak Imigrasi memiliki senjata pamungkas deportasi bagi orang asing yang tidak patuh peraturan perundang-undangan. Pihak Imigrasi sebenarnya tidak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat ancaman normatif demikian sudah disampaikan kepada klub sepak bola.

Sebenarnya, pihak Imigrasi menjadi eweuh pakeweuh untuk menindak langsung pesepakbola asing tersebut, karena pasti PSSI dan PT. LIB mengizinkan klub-klub tersebut memainkan pesepak bola asing, walaupun persoalan KITAS belum tuntas. Secara faktual, persoalan ini memperlihatkan kontestasi antara kedaulatan negara dengan aturan bahkan kesepakatan otoritas sepak bola. Sepanjang mengenai penyelenggaraan kompetisi, aturan-aturan organisasi sepakbola internasional dapat diterapkan karena menyangkut standar cabang keolahragaan. Namun, di luar aspek kompetisi, mestinya tidak ada otoritas lain yang berdaulat selain otoritas negara atas nama rakyat. Seharusnya hal ini disadari betul oleh PSSI, operator dan klub sepak bola. Di lain pihak, mestinya otoritas negara, terkhusus Ditjen Imigrasi dapat melakukan tindakan tegas sesuai peraturan perundang-undangan.

Perlu harmonisasi 

Persoalan KITAS pemain asing ini pasti akan selesai dalam waktu dekat. Namun kisruh dan pengabaian hukum keimigrasian seperti ini dapat saja terjadi di kemudian hari. Agar tidak terulang, upaya mengharmonisasi ketentuan hukum nasional, dalam hal ini hukum keimigrasian, dengan aturan internal kompetisi sepak bola menjadi krusial dilakukan. Ketentuan hukum keimigrasian sudah semestinya diterapkan secara tegas termasuk dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola. Namun penyelenggaraan kompetisi besar seperti liga sepak bola yang sangat dinamis, terkhusus mengenai transfer pemain lintas negara juga harus menjadi perhatian seluruh instansi pemerintah terkait, termasuk Ditjen Imigrasi. Untuk kompetesi besar seperti liga sepak bola, mestinya instansi terkait dapat melakukan koordinasi intensif sejak awal atau bahkan membuat skema khusus untuk mengantisipasi persoalan status keimigrasian para pemain asing.

Selain itu, hukum keimigrasian seharusnya dapat ditransformasi menjadi bagian rule of the game kompetisi yang dapat ditegakkan operator liga. Klub sepak bola yang melanggar ketentuan tersebut dapat diancam sanksi internal penyelenggara liga, yang tentu saja akan langsung dirasakan dampaknya oleh klub, seperti sanksi penyalaan flare, dan sebagainya. Namun sekuat apa pun harmonisasi ketentuan internal sepak bola dengan hukum keimigrasian, efektifitasnya sangat bergantung pada dukungan dari para aktor kunci sepak bola nasional : PSSI dan klub sepak bola.*.*


*Peminum Kopi Robusta kelas akut di @ngopimovement Dosen Fakultas Hukum Unpad & Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Unpad.

Sumber photo:http://nigeriannewsdirect.com/micheal-essien-joins-indonesias-persib/