35mm_12302_ 023

 “jika kamu bermusuhan maka datangi orang memusuhimu dan ajak dia ngopi. Ngobrol saja.”

Begitu saja pesan sederhana guru akuntansi saya, semasa SMA. Sebagai guru akuntansi, dia tidak bicara soal pertemanan dengan perhitungan debit, kredit dan penyusutan. Tapi dia bicara dalam mazhab semua setara dan merdeka.

Pak Bambang, bapak guru akuntansi, gemar ngajak ngopi para siswa didiknya. Bukan sekadar nyeruput kopi, ada momen bernyanyi bersamanya. Dia piawai memetik dawai gitar, dari Rock Ballad sampe genre dangdut Rhoma Irama. Maklum saat itu era pertengahan 90-an. Masa generasi belum ada gadget, maka ngopi jadi momen berharga.

Acara ngopi itu sederhana. Tapi sebenarnya berisi makna luar biasa. Jujur saja saya kagum dengan istilah “dialog tatap muka bertukar ide dan ilmu” lupa baca dimana, tapi idenya tentang “dialog” sangat masuk akal. Ya, berhadapan dalam makna sebenarnya (duduk berhadapan, atau bersampingan dengan saling melihat). Dengan duduk ngopi jalur komunikasi bisa tanpa batas: komunikasi bisa berlangsung dalam bahasa yang terucap sampai bahasa mimik dan gestur tubuh.

Ngopi adalah obat konflik. Lah kok bisa? Ibarat sebuah tema obrolan ada obrolan yang manis atau pahit, sama artinya dengan peminum kopi ada yang suka pahit atau manis.  Tapi yang tak bisa ditawar: nyeduh kopi harus dengan air panas. Nah orang yang sedang bertengkar akan pas diajak ngopi. Ibarat kopi yang disuguhkan panas-panas,  lambat laun suhunya mendingin. Nah diskusi yang panas pun mendingin. Inilah tujuan ngopi bersama. Mendinginkan yang panas.

Apakah bisa atau tidak hal di atas? Kembali saya ingat pernyataan Pak Bambang, sang guru SMA, ”manusia mah kadang tebal egona. Kalau tidak egois mah kopi sagelas ge bisa dihuyup ku dua, tilu opat jalmi (kalau tidak egois, kopi segelas bisa diminum rame rame)”. Nah apakah hari ini anda masih ngopi? Usahakan jangan ngopi sendirian.

Ekstasi Politik

20 tahun lalu banyak orang enggan bicara politik. Apalagi beraktivitas politik. Bahkan 20 tahun lalu melihat Mahasiswa berdemonstrasi saja, khalayak pun rame-rame menempelkan status, ”mahasiswa aktif nan telat lulus kuliah”.

Tapi hari ini, orang kita seolah fasih bicara politik. Bahkan di ruang publik yang semestinya arena menyegarkan diri dengan udara segar, telah menjadi arena tarung politik. Satu sisi kita bersyukur bahwa orang-orang sudah tidak apatis alias “ngilu” dengan kata politik.

Pertanyaan kemudian, apakah orang kita benar paham politik? Atau hanya sedang berada pada ekstasi politik?

Yang dikenal dengan nama Ekstasi, E, X, atau XTC adalah senyawa kimia yang sering digunakan sebagai obat rekreasi yang membuat penggunanya menjadi sangat aktif. Sebagai senyawa kimia, ekstasi bisa dikawinkan dengan materi lain untuk tujuan: sensasi.

Jika ya sedang aktif dalam sensasi politik, maka tak heran orang bicara politik hanya tentang besok ganti, jatuhkan. Orang bicara karena kepentingan tidak sama.

Ketika ekstasi ditelan dan bekerja dalam tubuh, maka tubuh menerima apa saja pengaruh dari luar. Tanpa bisa menolak dan kemauan mencari nol. Semua informasi diterima “apa adanya”. Tak punya lagi olah asa, jiwa dan pikir.

Media sosial, 140 karakter. Video 1 menit, dan slogan tagar seperti bandar yang menyuplai pil ekstasi. Ada penangkalnya? Ada. Apakah anda rindu iklan: membaca dan ngopi.


FT.http://collections.mcny.org

Penulis: Agus Rakasiwi (Coffee Addict)