Oleh. Giri A. Taufik*
16 Oktober 2018 genap satu tahun Anies Baswedan memangku jabatan Gubernur setelah memenangi Pilkada Jakarta. Untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya, Anies Baswedan secara gencar mempromosikan capaian dari janji-janji politiknya dalam satu tahun masa jabatannya. Salah satu klaim keberhasilan janji politik yang menjadi kontroversi adalah pemenuhan Janji DP 0, yang berubah nama menjadi SAMAWA. Kritik pun berdatangan, dari mulai yang teknis sampai dengan yang subtansi. Tulisan ini hadir untuk melakukan kritik terhadap klaim pemenuhan janji tersebut, namun dari sudut pandang janji Anies sendiri yang dilontarkan selama kampanye. Pertanyaannya, betulkah Anies sudah menuntaskan janjinya ?. Terkait pertanyaan ini saya menjawab, dengan tegas, Anies belum menuntaskan janji kampanyenya, dan cenderung mengalami disorientasi dari janji-janji kampanyenya.
DP 0 Bukan Soal Bangun Hunian
Salah satu alasan utama kenapa Anies saya anggap belum menuntaskan janjinya adalah klaim pencapaian Anies didasarkan pada dibukanya pemesanan Rusunami Klapa Village dengan skema DP 0. Klaim ini menjadi bermasalah karena dua hal. Pertama, janji DP 0 yang saya pahami selama masa kampanye bukan merupakan kebijakan perumahan pada sisi penawaran, menyediakan hunian, tapi merupakan kebijakan perumahan pada sisi permintaan, membantu konsumen untuk memiliki rumah. Kedua, DP 0 juga tidak membatasi diri pada bentuk hunian tingkat, tapi juga pada bentuk hunian tapak, bahkan juga di daerah-daerah yang “tidak layak” pembiayaan, seperti di kampung-kampung kota.
DP 0 sebagai kebijakan membantu kepemilikan hunian, sangat jauh berbeda secara konseptual dan teknis dengan kebijakan pada kebijakan menyediakan hunian. Dalam kebijakan membantu kepemilikan hunian, intervensi pemerintah berfokus pada menyediakan pembiayaan perumahan. Sehingga, secara teknis, alokasi APBD tidak ditujukan untuk membangun hunian, namun menyediakan dana untuk keperluan membantu konsumen dalam memiliki rumah. Tujuan dari penyediaan dana ini adalah : Pertama, untuk menghilangkan hambatan akses konsumen pada pembiayaan (perlunya DP, diskriminasi pada masyarakat dengan non penghasilan tetap, rumah di gang, dst), hal ini didengungkan dalam salah satu satu video kampanye yang dibawakan oleh Panji, sebagai Juru Bicara kampanye Anies. Kedua, adalah untuk meringankan cicilan perbulan agar sesuai dengan kemampuan masyarakat dengan segmen ekonomi tertentu, yakni masyarakat dengan penghasilan UMR. Bagi saya Klapa village hanya menampilkan sisi tidak perlunya DP, tapi gagal dalam memenuhi janji keduanya. Hal ini wajar, karena tampaknya Anies semata berorientasi pada model seremoni gunting pita untuk menunjukan keberhasilannya, yang merupakan trend yang terjadi di era Orde Baru dan hidup kembali pada era sekarang.
Selain hal tersebut, program DP 0 Anies tampaknya juga mengalami disorientasi kebijakan. Alih-alih mengintervensi penyediaan dana kepada BUMD lembaga keuangan atau mengembangkan kelembagaan alternatif, uang justru diberikan kepada BUMD properti. Padahal dalam janji-janjinya secara eksplisit, ketersediaan rumah itu dilakukan oleh pihak swasta, baik BUMD ataupun pengembang non-BUMD. Intervensi kebijakan pada lembaga keuangan sebenernya relatif lebih terbuka dan mudah, daripada berpusing-pusing mengurusi pembangunan hunian. Sebagai contoh, salah satu kelembagaan yang sudah tersedia adalah PPDPP, Badan Layanan Umum yang dibentuk pemerintah pusat dalam pembiayaan perumahan, lembaga yang menyediakan FPLPP 1 % DP. Salah satu mandat lembaga ini adalah selain memberikan pembiayaan, juga untuk menggali sumber alternatif pembiayaan non-APBN. Sehingga bagi saya akan sangat strategis dan efisien untuk bekerjasama mendesain program spesifik yang didasarkan pada program janji DP 0, misalkan dengan penurunan DP 1 %, menjadi 0 % menaikan pagu hunian yang dibiayai menjadi 350 juta, mengurangi syarat-syarat administratif perbankan dan meringankan cicilan sesuai dengan target masyarakat berpenghasilan UMR, tentu dengan penyerataan pembiayaan dana yang dikeluarkan dari APBD DKI Jakarta. Kalau pun tidak dapat bekerjasama, karena hambatan, misalkan politik, Pemda DKI harusnya dapat mengembangkan sistem dan kelembagaan secara sendiri.
Hunian Bukan Investasi
Kritik kedua adalah minimnya design tata kelola (governance) dari DP 0 ini. Padahal dalam janjinya, setidaknya yang didengungkan oleh Marco sebagai Jubir Anies Sandi di dalam salah satu debat yang difasilitasi oleh Tempo, kebijakan perumahan Anies juga ditujukan untuk menciptakan pasar “parallel”, artinya hunian yang dimiliki berdasarkan skema DP 0, nantinya tidak diperjualbelikan dalam pasar terbuka, namun disediakan pasar hunian spesifik yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting untuk memerangi salah satu musuh utama penyediaan rumah bagi masyarakat, yaitu sikap lacur konsumen yang memposisikan rumah sebagai sarana spekulasi investasi. Sikap lacur ini merupakan salah satu kegagalan dari program 1000 menara SBY, dalam menyelesaikan backlog kepemilikan rumah.
Penyediaan parallel market ini menjadi mungkin, jika terdapat kelembagaan dan tata kelola yang kuat, transparan dan profesional. Mungkin salah satu kebijakan yang sudah ditempuh Anies adalah dengan membentuk UPT Fasilitasi Pemilikan Rumah Sejahtera, tampaknya UPT ini akan bertansformasi menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang akan mengelola hunian dengan skema DP 0 ini. Bagi saya justru ini merupakan capaian pertama (milestone) dari pelaksanaan program DP 0.
Pencapaian Inkremental
Salah satu kritik utama dari pelaksanaan DP 0 Anies adalah adanya disorientasi kebijakan. Hal ini tampaknya disebabkan pada kebutuhan untuk menunjukan pemenuhan janji-jani Anies secara fisik, padahal fondasi tata kelola dan sistem DP 0 tidak kalah pentingnya untuk menunjang keberlanjutan program. Hal ini hanya bisa dibangun secara inkremental. Terkadang capaian-capaiannya juga tidak tangible dalam bangunan atau struktur, tapi dalam produk legislasi, disbursement kredit dan kerjasama-kerjasama lainnya. Bisa jadi roll out dari DP 0 baru bisa terwujud di akhir-akhir kepengurusan Anies, melihat kompleksitas dari sistem yang harus dibangun dan hambatan-hambatan teknis dan non teknisnya.
Tidak dapat dipungkiri juga, Anies tampaknya terdorong narasi media yang saat ini memang mengorientasikan diri kepada pencapaian-pencapaian “nyata” fisik, yang juga didengungkan oleh oposisi. Namun demikian klaim menuntaskan janji, tidak perlu juga untuk diorientasikan mengikuti narasi media. Perlu juga membangun setting diskusi publik tersendiri, yang menampilkan keberhasilan pelaksanaan program secara inkremental berdasarkan janji-janji kampanye yang sudah digariskan. Kemenangan kecil atau hambatan-hambatan harus dikomunikasikan secara jujur berikut dengan solusi-solusi yang praktis dan terukur terkait dengan apa yang dilakukan. Bukan tidak mungkin, roll out disbursement kredit pertama baru bisa dilakukan tahun ke 3 atau ke 4 dari masa jabatan Anies. *.*
*Penikmat kopi peras & saat ini sedang bermukim di Aussie bukan karena kejaran politik Orde Baru.