Canggih Prabowo

Oleh. Canggih Prabowo*

 

Pengantar

Judul di atas disengaja provokatif untuk meninjau program ekonomi nawacita dan program infrastruktur di era kepemimpinan nasional Jokowi dan Jusuf Kala. Mengenai hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa kerisauan dengan memperhatikan gejala ekonomi terkait prospek pembangunan inklusif pada tahun-tahun selanjutnya. Merujuk pewartaan oleh beberapa media cetak dan elektronik diantara tahun 2013 menjelang tahap transisi kepemimpinan nasional hingga 2015, Indonesia memiliki sejumlah indikator makro mengembirakan misalnya, laju pertumbuhan ekonomi menunjukan gejala positif, inflasi rendah, investasi asing menumpuk, dan cadangan devisa meningkat. Sedangkan di sisi lain diiringgi dengan tingginya angka kemiskinan, malnutrisi, kelaparan, kematian ibu melahirkan dan balita, angka pengangguran serta meledaknya sector informal merupakan pelbagai persoalan acapkali menghiasi beberapa kolom pemberitaan negeri ini.

Mengutip pandangan Dr. Charles Himawan dalam bukunya The Foreign Investment Process in Indonesia, The Role of Law in The Economic Development of a Third World Country menerangkan:

There are two attitudes which the Indonesians assume toward these foreigners even if these foreigners are prepared to make Indonesia wealthier before claiming their share. First, there are Indonesians who believe that it is best to entirely forbid foreign investors. The risk is a stifling of the development process in Indonesia since it is these foreign investors, particularly those incoming from the North, who control a large share of the world’s capital and technology. Second, there are Indonesian who believe that foreign investors are central to Indonesia’s development. They argue, however, that these foreign investors must be scrutinized extremely well before letting them take part in the development of the host country. This results in impediments similar to those created by the first attitude, because extreme cautious leads to over regulation and only discourages foreign investors.[1]

Beranjak dari pernyataan di atas, kendati perbedaan pandangan tersebut hingga kini masih tumbuh dan berkembang nampaknya pandangan kedua dirasa tetap mendomisasi dalam konteks keterandalan investasi besar sebagai aktor dominan pertumbuhan pembangunan Indonesia, namun kurang mengikutsertakan rakyat kecil sebagai subyek utama penerima manfaat dari sebuah pembangunan dikarenakan bersifat residual.  Disamping itu di akhir tahun 2015 ini beberapa negara Association of South Asia Nation (ASEAN) sudah tergabung dalam “Masyarakat Ekonomi ASEAN” (Association of South Asia Nation Economic Community) sebagai sarana pengintegrasian hubungan interaksi bisnis antar kesepuluh negara ASEAN, namun demikian untuk menuju proses tersebut muncul prediksi para ekonom, bahwa di tahun 2015 Indonesia akan menghadapi resesi.

Prediksi resesi ekonomi di tahun ini tentunya perlu disikapi secara wajar agar tidak menimbulkan kepanikan pasar, dikarenakan perekonomian kita pernah diguncang oleh tiga gelombang krisis ekonomi (tahun 1999; antara tahun 2008-2009; krisis utang publik zona euro) walau Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka sangat mungkin akan terkena dampak negatif, merujuk hal tersebut diskusi terbatas ini hendak mendudukan beberapa variabel tersebut, guna meninjau tantangan pembangunan inklusif  dalam lingkup interdisipliner.

Sumber Foto:bisniskeuangan.kompas.com

Di antara Resesi dan Depresi Ekonomi

Merujuk pernyataan Presiden Center for Global Development (CGD) Nancy Birdsall mengungkapkan bahwa tujuan mendasar pembangunan ekonomi bukanlah pertumbuhan ekonomi semata, tetapi peningkatan kesejahteraan manusia dengan demikian pembangunan sosial merupakan kebaikan ekonomi selaras dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun tidak cukup karena kunci kemajuan dan keberlanjutan pembangunan untuk menuju tahap ini terletak adanya sumber daya manusia unggul dan produktif, sebaliknya jamak diketahui pembangunan sosial di Indonesia terjadi ekslusi pembangunan pada tingkat masyarakat bawah, rakyat miskin, dan kurang mampu mengalami ketertutupan akses serta tertinggal dalam setiap proses pembangunan, tidaklah mengherankan jika kita mengerutkan jidat melihat angka-angka sebagaimana tersaji dalam indeks pembangunan manusia sehingga bila diperhatikan produksi redefinsi pembangunan oleh rezim pemerintahan Indonesia kerap mengalami pergeseran hingga muncul istilah “Pembangunan Inklusi” atau “Pembangunan untuk semua”.

Kendati transisi politik ke pemerintah baru di Indonesia pada 20 Oktober 2015 berjalan lancar dan reformasi kebijakan sebagai momentum harapan atas mandat rakyat Indonesia kepada Joko Widodo sebagai Presiden ke 7 (tujuh) Republik Indonesia menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono guna mengakselerasi agenda reformasi dalam hal (1) Mengasah daya saing global; (2) Menciptakan lapangan pekerjaan baru; (3) Mempersiapkan tenaga kerja usia muda dapat diserap oleh pelaku industri; (4) Memerangi sisa-sisa mesin politik oleh Soeharto, berlandaskan pada beberapa program (1) Peningkatan ketersediaan infrastruktur; (2) Penyederhanan layanan birokrasi; (3) Pemberantasan korupsi. Namun demikian, langkah-langkah selama 2 (dua) tahun sebelumnya untuk menahan permintaan domestik dan mengekang defisit transaksi berjalan, ditambah dengan kelesuan ekspor membebani perekonomian Indonesia. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) melambat menjadi 5,0% pada tahun 2014, di tahun keempat (4) berturut-turut mengalami perlambatan. Pada tahun 2014, konsumsi swasta tetap dalam ambang batas, tetapi belanja pemerintah dan investasi tetap melambat serta ekspor bersih mengalami penurunan.[2]

Namun, kemampuan Jokowi selama 319 hari nampak mengalami beberapa kesulitan menghadapi status quo hal ini dapat dilihat dengan laju pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4.67 persen pada triwulan kedua posisi ini merupakan laju paling lambat selama enam tahun[3] Indeks Harga Saham Gabungan turun 13 persen dari 7 April  merupakan rekor tertinggi sebagai nilai yang terjun terbesar di Asia ketika itu sedangkan investasi asing langsung mengalami kegagalan untuk memberikan dampak positif pada kuartal terakhir tercatat $7.5 sedikit mengalami perubahan dari tahun sebelum[4] sebagaimana dapat digambarkan dalam table di bawah ini:[5]

Indikator Ekonomi Terpilih % – Indonesia 2015 2016
Pertumbuhan Gross Domestik Produk 5.5 6.0
Inflasi 5.5 4.0
Saldo Giro (Bagian dari Pendapatan Domestik Bruto) -2.8 -2.4

Dari tabel di atas tersebut, pelambatan perekonomian Indonesia bisa dikatakan disebabkan oleh beberapa sumber eksternal yakni perdagangan (ekspor impor barang dan jasa) dan investasi/modal[6] selaras dengan laporan triwulan Bank Dunia pada bulan Juli 2015 mengungkapkan pada kuartal pertama (Januari hingga April  2015) konsumsi pengeluaran swasta, pertumbuhan mesin di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga melambat, lemahnya pertumbuhan ini turut mempengaruhi pelambatan penciptaan lapangan kerja, dengan pekerjaan baru-baru ini saja cukup menyerap peningkatan penduduk usia kerja. Sementara komoditi misalnya kelapa sawit mengalami penurunan sejak 2012 dan respon kebijakan pemerintah pusat telah mempengaruhi hasil pertumbuhan bagi beberapa provinsi kaya akan sumber daya alam. Beberapa stimulus kebijakan terbatas dan moneter terkendala oleh tingkat inflasi dan kerentanan eksternal.[7]

Pada situasi dan kondisi ini pendapatan petani dan buruh tani membuat permintan konsumsi maupun permintan perantara (antar sektor) di pedesaan berkurang, dan hasil akhirnya, pendapat riil masyarakat per kapita menurun dan tingkat kemiskinan meningkat di pedesaan selain kelompok rentan ini perusahaan-perusahaan eksportir, termasuk pekerja-pekerja dan keluarga mengalami kerentanan khususnya pada beberapa wilayah industri ekspor seperti alas kaki, garment dan tekstil di Kabupaten Bandung, Provinsi DKI Jakarta, dan kawasan sekitarnya.Dalam konteks ini krisis “Gonjang-ganjing ekonomi rakyat” berada dalam persimpangan dua bandul antara resesi dan depresi ekonomi kedua hal ini memiliki perbedaan karakteristik terletak pada jangka waktu atau lamanya suatu krisis ekonom yang direfleksikan oleh penurunan pendapatan domestik bruto selama enam (6) bulan (dua semester) berturut-turut ditandai dengan (1) Tingginya tingkat pengangguran; (2) Upah buruh mengalami kemandekan; (3) Kejatuhan penjualan eceran (retail), selama ini resesi ekonomi dianggap sebagai bagian normal dari sebuah ekonomi kapitalis kendati demikian belum ada kesepakatan antara para ekonom mengenai sebab-sebab utama terjadinya resesi ekonomi. Sedangkan depresi ekonomi sebagai titik terendah dalam siklus ekonomi yang dicirikan oleh: (1) Kemampuan belanja masyarakat menurun; (2) Jumlah pengangguran sangat besar (lebih dari 50% dari jumlah tenaga kerja); (3) Permintaan atau konsumsi menurun hingga menimbulkan kelebihan suplai di pasar domestik; (4) Harga-harga berjatuhan atau naik namun enggan laju yang lebih rendah dari laju normal; (5) Upah di hampir semua sector ekonomi dalam negeri berkurang, atau mengalami kenaikan dengan persentase lebih kecil dari pada laju pada saat ekonomi mengalami kondisi normal; (6) Hilangnya kepercayaan atau harapan masyarakat terhadap masa depan. [8]

Sumber :economicdepression.org

Meski demikian, Bank Pembangunan Asia memberikan proyeksi untuk tahun 2015 dan 2016 menganggap bahwa momentum reformasi yang cepat melalui pemerintah baru dipertahankan melalui tahun kedua dan membawa perekonomian indonesia pada tahap selanjutnya melalui kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur, meningkatkan iklim investasi, mengurangi biaya logistik, dan meningkatkan pelaksanaan anggaran. Atas dasar ini, pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto diperkirakan akan pulih menjadi 5,5% tahun ini dan 6,0% pada tahun 2016.[9]

Namun proyeksi ini tentunya perlu ditinjau secara seksama dan hati-hati dikarenakan merujuk sebuah laporan jasa professional yang dikutip oleh Rizal Ramli namun  tidak menyebutkan sumbernya mengungkapkan rencana ambisius pemerintah Jokowi di bidang infrastruktur akan mengalami kegagalan dalam jangka pendek dari persyaratan yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan produk domestik bruto bersumber dari  PricewaterhouseCoopers (PwC) mencatat bahwa peluang masih ada sekitar 1533 hari tersisa selama 5 tahun kepemimpinan Jokowi untuk mengubah iklim investasi dan regulasi terkait, meski Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka sebagaimana diungkapkan oleh Glenn Maguire kepala ekonom ANZ ASEAN namun pola-pola proteksionis menciptakan ketidakpastian rencana ekonomi Jokowi sedangkan Thailand dan Vietnam telah memanfaatkan sistem tersebut secara efektif dan efesien dengan demikian prospek pembangunan inklusif tentunya dikhawatirkan sulit dipenuhi secara bertahap, sebagai gambaran untuk memahami tipe krisis dan pada tahap mana krisis terjadi dapat dijelaskan dalam table di bawah ini:[10]

Tipe krisis Jalur transmisi utama Indikator Utama untuk Memonitor Dampak
Krisis produksi Kesempatan Kerja

Pendapatan

InflasiOutput menurut secktor dan wilayah

Kesempatan Kerja menurut sector dan wilayah

Inflasi (Indeks Harga Gabungan) menurut wilayah

Kemiskinan menurut wilayahKrisis pebankanKreditOutput menurut sector dan wilayah Suku Bunga PinjamanKesempatan kerja menurut sector dan wilayah OutputPendapatan menurut sector dan wilayah Kesempatan KerjaKemiskinan menurut wilayah Pendapatan Krisis nilai tukarEksporEkspor menurut sector dan wilayah ImporImpor menurut sector dan wilayah OutputOutput menurut sector dan wilayah Kesempatan KerjaInflasi menurut wilayah PendapatanKesempatan kerja menurut sector dan wilayah InflasiPendapatan menurut sector dan wilayah  Kemiskinan menurut wilayahKrisis eksporOutputEkspor menurut sector dan wilayah Kesempatan kerjaOutput menurut sector dan wilayah PendapatanKesempatan kerja menurut sector dan wilayah  Pendapatan menurut sector dan wilayah  Kemiskinan menurut wilayahKrisis ImporOutputOutput menurut sector dan wilayah Kesempatan KerjaKesempatan kerja menurut sector dan wilayah PendapatanPendapatan menurut sector dan wilayah InflasiKemiskinan menurut wilayah  Inflasi menurut wilayahKrisis ModalOutputOutput menurut sector dan wilayah Nilai TukarKesempatan kerja menurut sector dan wilayah Kesempatan KerjaPendapatan menurut sector dan wilayah PendapatanInflasi menurut wilayah InflasiKemiskinan menurut wilayah

Berdasarkan beberapa tipe krisis di atas, menunjukan bahwa pola hubungan antara tingkat atau laju inflasi dan jumlah kesempatan kerja atau orang yang menggangur merupakan faktor penentu dalam lingkup ekonomi makro sehingga berpengaruh pada deret angka kemiskinan, disamping itu , Jokowi harus memutuskan jenis pemimpin yang ia ingin lakukan menjadi: populis atau sebagai modernisator sebagaimana dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Retorika nasionalis kerap diserukan di wilayah terpencil Indonesia sedangkan pada bulan lalu Jokowi menaikan tarif impor sementara meminta Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk melakukan sebaliknya dengan memotong atas barang-barang ekspor Indonesia ke Inggris hal ini tentunya kontras sementara Jokowi tidak membantu konsituennya dengan menaikan harga barang sementara mata uang Indonesia mengalami pelemahan, hal ini tentunya menimbulkan kebijakan intervensionis meski hal ini belum diperlukan atas model ekonomi neoliberal.

Sementara itu masih dirasa terlalu awal bagi Jokowi, atas beberapa komentar miring bahwa Indonesia sudah membayar harga untuk kesalahan manajemennya. Rupiah turun 13% selama 12 bulan terakhir – dan pertama pasca-pelonggaran kuantitatif kenaikan suku bunga Federal Reserve masih menjulang di cakrawala. Ini bukan kecelakaan ekonom, saat ini Indonesia termasuk dalam pasar negara berkembang karena selama satu dekade mengalami pasang surut pertumbuhan ekonomi. Tentunya krisis ekonomi Indonesia saat ini mengalami perulasan masalah bagi negara-negara seperti Brazil, Rusia, China setelah booming investasi multi-tahun setidaknya Indonesia telah memiliki pengalaman cukup dalam mengatasi dua krisis ekonomi meski masih perlu diperhatikan lebih lanjut menjelang 31 Desember 2015 apakah Indonesia akan kembali terjerambab dalam kubangan yang sama.***

 

[1] Cetak miring oleh Penulis

[2] http://www.adb.org/countries/indonesia/economy di akses pada 26 Agustus 2015 pukul 11:00 wib.

[3] http://www.bloombergview.com/articles/2015-08-06/indonesia-s-economy-has-stopped-emerging Asian Economy  di akses pada 26 Agustus 2015 pukul 11:00 wib.

[4] Ibid.

[5] Loc.cit.

[6] Tulus Tambunan, Memahami Krisis Siasat Membangun Kebijakan Ekonomi, Jakarta, LP3ES, 2011, hlm.29.

[7] http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/indonesia-economic-quarterly-reports di akses pada 26 Agustus 2015 pukul 11:00 wib.

[8] Ibid. hlm.10.

[9] http://www.adb.org/countries/indonesia/economy di akses pada 26 Agustus 2015 pukul 11:00 wib.

[10] Loc.cit.  Tulus Tambunan, hlm.40.

 

*Penulis adalah Mahasiswa S2 Hukum Universitas Parahyangan (UNPAR) Bandung dan aktif di Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung)