Oleh Yusep Ginanjar*
–
Balance Of Power : Koalisi Iran-Rusia VS Arab-Amerika Serikat di Suriah
Krisis Suriah bukan persoalan baru, bahkan di Amerika krisis Suriah dan para pencari suaka Suriah lebih populer saat ini ketimbang apa yang terjadi di kongres Amerika. Krisis Suriah terjadi pada maret tahun 2011, dimana middle east spring terjadi, yang diawali oleh gerakan massa di Tunisia, Mesir, dan Libya. Gerakan pemberontakan di Suriah diawali oleh protes protes massa di berbagai propinsi yang miskin di sana. Hal tersebut pun tidak terlepas dari isu madzhab yang mereka anut yaitu Syiah dan Sunni. Dimana sektor-sektor publik (yang seharusnya dimanfaatkan untuk kehidupan rakyat banyak dan tanpa diskriminasi golongan) hanya dinikmati oleh pejabat dan keluarganya serta relasi sosial yang didominasi oleh kaum Syiah.
Lalu kemudian Assad (Red: Sebagai Presiden Suriah, hingga tulisan ini dimuat) tidak mendengar aspirasi rakyat Suriah. Rezim Basar Al-Assad ternyata lebih memilih jalan untuk melakukan represifitas terhadap rakyatnya dengan dalih bahwa ada intervensi pihak asing. Dan Assad menuduh bahwa yang melakukan gerakan tersebut adalah teroris dan agen-agen asing yang ingin menghancurkan Suriah. Lalu terjadilah peperangan antara pemberontak dengan pihak pemerintah karena ada ketidak-sepahaman dari mereka, maka hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Michael Gelven di dalam bukunya “War and Existence” (1994) yang mengatakan bahwa ” War is intrinsically vast, communal (or political) and violent.It is an actual, widespread and deliberate armed conflict between political communities, motivated by a sharp disagreement over governance” (perang adalah konflik bersenjata yang nyata, luas dan disengaja antara komunitas-komunitas politik yang dimotivasi oleh ketidaksepahaman yang tajam atas persoalan kepemerintahan).[1]
Dari pemberontakan-pemberontakan yang muncul, Assad pun merespon dan terjadilah perang besar berkepanjangan sampai detik ini di Suriah. Pada akhirnya ada yang tidak dapat dihindari akibat perang, yakni lahirnya persoalan kemanusiaan yang berkepanjangan di sana. Dimana stabilitas politik, hukum dan ekonomi menjadi lumpuh.
Hal yang paling mendasar adalah terpuruknya ekonomi Suriah. Seperti yang dilansir data dari BBC.com rata-rata tingkat inflasi mencapai lebih dari 50% selama tiga tahun belakangan. Sementara Produk Domestik Bruto, GDP, menyusut sampai lebih dari setengahnya, sejak pecah perang tahun 2011 lalu. Laporan Chatham House itu menyebutkan tingkat inflasi terburuk sebesar 120% tercatat pada bulan Juli sampai Agustus 2013. Krisis di Suriah berawal pada tahun 2011 dengan unjuk rasa menentang Presiden al-Assad, sementara mata uang Pound Suriah sudah kehilangan 78% nilainya sejak tahun 2011[2].
Jelas dengan persoalan ekonomi tersebut maka semakin menajamkan penderitaan rakyat Suriah. Sehingga secara psikologis sangat wajar jika dalam posisi dan situasi yang tidak menguntungkan bagi mereka, kemudian mereka berfikir untuk mencari kehidupan yang lebih layak di negara lain dengan mengajukan hak atas suaka. Namun bukan menjadi suatu persoalan yang sangat gampang menjadi imigran yang mengajukan suaka pada negara yang lain. Kondisi tersebut diperparah karena kedua belah pihak yaitu pemerintah Suriah dan kelompok oposisi di dukung oleh pihak-pihak asing. Pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-ashad di dukung oleh koalisi Rusia dan Iran, sementara pihak oposisi/pemberontak di dukung oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat. Hal tersebut berkaitan dengan ideologi, keyakinan, dan pengaruh sebuah negara di kawasan Timur Tengah.
Duka Pengungsi Suriah di Eropa
Perang yang terjadi antara pemerintah dengan pemberontak di Suriah tentu membuat rakyat Suriah semakin terpuruk. Maka banyak dari mereka yang pergi meninggalkan Suriah dengan berbagai cara dan ke berbagai wilayah. Kini mereka mencari kehidupan yang lebih baik di negara-negara eropa, sebagai pengungsi.
Definisi pengungsi menurut konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, menjabarkan definisi pengungsi sebagai “seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada di luar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut.”. Jelas dari definisi tersebut bahwa rakyat Suriah berada dalam kondisi ketakutan dikarenakan perang yang terjadi. Namun pengungsi tersebut tidak semuanya mendapatkan penyambutan yang ramah dari setiap negara yang mereka lewati. Amnesti international (AI) menyebutkan bahwa justru negara-negara yang miskin seperti Yordania, Libanon, Irak, Turki, dan Mesir, menerima dan menampung pengungsi Suriah sebanyak 3.8 juta jiwa. Di waktu yang sama, negara-negara lainnya, termasuk negara-negara kaya, hanya menerima 1.7 juta jiwa saja.[3]
Ada hal yang menarik disini, sikap Turki yang melakukan standar ganda terhadap para pengungsi Suriah. Turki tidak bisa menolak kehadiran para pengungsi Suriah, karena Turki terikat oleh perjanjian internasional pada tahun 1951 mengenai pengungsi. Namun di sisi lain, ada faktor ideologis dimana pada saat ini poros kekuasaan Turki berpegangan pada ajaran dari Hasan Al-Banna. Ajaran Hasan Al-Banna dengan turunan gerakannya yang dikenal dengan Ikhwanul Muslimin. Sementara disisi lain para pengungsi Suriah merupakan pemegang ajaran Syiah, tentu hal tersebut menjadi pertimbangan bagi Turki.
Selain itu faktor sentimen warga lokal terhadap pengungsi yang kemudian menjadi pertimbangan, karena dikhawatirkan akan terjadi gesekan. Gesekan yang tajam (Red: yang dikawatirkan terjadi) apabila ada lonjakan penduduk yang mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi. Turki mengambil sikap memperhalus penerimaan mereka dengan syarat bahwa yang membawa paspor dan legal yang bisa tinggal di Turki dan berbaur dengan warga Turki dimanapun. Sementara bagi pengungsi yang tidak membawa paspor maka mereka hanya diberikan kemah-kemah disekitar perbatasan dan diberikan nomor pengungsi serta diberikan bantuan oleh pemerintah Turki.
Negara selanjutnya yang juga menjadi persinggahan para pengungsi ini adalah Serbia dan Hungaria. Pemerintah Serbia dan Hungaria kewalahan dengan semakin banyaknya pengungsi. Sehingga para pengungsi yang akan masuk ke kedua negara tersebut banyak yang diusir. Bahkan belum lama ini Hungaria menolak dan mengusir para pengungsi secara keras. Saat ini negara yang benar-benar terbuka untuk pengungsi Suriah adalah Jerman, maka banyak pengungsi Suriah yang menuju ke Jerman. Selain dari itu ternyata ada juga negara yang hanya menerima berdasarkan keagamaan yaitu Slowakia. Negara Slowakia hanya menerima pengungsi Suriah yang beragama Kristen Suriah. Padahal jelas bahwa mereka menandatangani konvensi pengungsi tahun 1951 dimana dalam menerima para pengungsi tidak boleh melihat suku ras dan agama.
Jika dilihat dari pengambilan keputusan politik luar negeri, maka kita dapat merujuk pada William D. Coplin dalam teori pembuat keputusan (Decision Making Proses)[4] yang mengatakan bahwa apabila kita menganalisa kebijakan luar negeri suatu Negara, maka kita harus mempertanyakan peran dari pemimpin Negara dalam membuat kebijakan luar negeri. Dan salah besar jika menganggap bahwa para pemimpin Negara (pembuat keputusan) bertindak tanpa pertimbangan (konsiderasi). Tetapi sebaliknya tindakan politik luar negeri tersebut dianggap sebagai akibat dari tiga konsiderasi yang mempengaruhi pembuat keputusan. Hal pertama adalah kondisi politik di Negara tersebut, termasuk faktor budaya yang mendasari tingkah laku manusianya. Kedua, situasi ekonomi dan militer di Negara tersebut, termasuk faktor geografis yang menjadi pertimbangan untuk pertahanan dan keamanan. Ketiga, konteks internasional atau situasi di Negara yang menjadi tujuan politik luar negeri serta pengaruh dari negara -negara lain yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
Dari teori diatas, jelas bahwa sikap negara-negara yang menerima dan yang menolak kehadiran para pengungsi, merupakan sebuah kebijakan yang diambil berdasarkan kondisi negara mereka. Makin jelas bahwa ketika kita berbicara persoalan Turki, yang memberikan syarat kepada pengungsi Suriah untuk dapat menunjukan paspor dan masuk secara legal, itu dikarenakan ada persoalan ideologi dan keyakinan yang bertolak belakang. Namun bagi negara Hungaria dan Serbia lebih pada poin dua yaitu berdasarkan alasan ekonomi dan keamanan. Maka pemerintah Serbia dan Hungaria lebih bersifat menolak meskipun sebagian dari para pengungsi sudah mereka terima. Hal tersebut lebih dikarenakan perekonomian negara tersebut sedang dalam kondisi yang depresif dan pengangguran yang cukup tinggi.
Sentimen Sipil dan Penambahan Sunni dan Syiah di Eropa
Krisis finansial dan resesi ekonomi yang melanda Eropa menyebabkan munculnya pengangguran yang naik secara drastis. Hal tersebut bisa kita lihat dari data sebagai berikut [5]:
Tingkat pengangguran yang meningkat tajam di negara-negara Eropa, tentu harus menjadi perhatian setiap pemegang keputusan di negara-negara Eropa – yang akan menerima para pengungsi Suriah. Persoalannya adalah ketika krisis belum bisa diselesaikan (perbaikan ekonomi dan penekanan pengangguran) pada angka normal maka keputusan untuk dapat menerima para pengungsi Suriah memang sangat dilematis. Bahkan dapat terprediksikan menjadi bumerang bagi negara tersebut. Hal yang paling harus dipersiapkan adalah ledakan sentimen negatif dari penduduk lokal terhadap para pengungsi yang tidak menutup kemungkinan akan memunculkan anti pendatang.
Selain dari itu, penambahan kaum muslim baik yang menganut aliran Syiah maupun Sunni dari para pengungsi Suriah akan menambah sentimen penduduk lokal. Kalau bagi negara-negara dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah yang menjadi persoalan mungkin hanya persoalan ekonomi. Namun bagi negara kaya seperti Jerman dengan tingkat rasis terhadap muslim yang cukup tinggi, seharusnya bisa lebih memprediksikan bahwa akan ada suatu penolakan yang berlatar belakang ekonomi maupun ideologi.
Terakhir saya kutip pernyataan dari Eleanor agar tidak terjadi kembali penderintaan para pengungsi akibat perang :
”Saya tidak yakin perang adalah solusi terbaik. Tak seorang pun menang dalam perang terakhir dan tak seorang pun akan menang pada perang selanjutnya.” Eleanor Roosevelt (1884–1962), diplomat dan Ibu Negara AS (1933–1945)”
———————————-
[1] Gelven, M. 1994. War and Existence. Pennsylvania University Press. Philadelphia
[2] http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/06/150624_majalah_suriah_ekonomi
[3] https://www.amnesty.org/en/latest/news/2015/09/syrias-refugee-crisis-in-numbers/
[4] William D. Coplin,Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis,CV Sinar Baru, Bandung, 1992, hal. 30.
[5] http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/File:Unemployment_rates,_seasonally_adjusted,_July_2015.png
*Penulis adalah Dosen Hubungan Internal UNJANI dan pegiat Ngopimovement.org