Oleh. Dikdik R. Mulyana*
Saya salah satu dari sekian banyak penggemar film horror bergenre Zombie, dari Dawn Of The Dead, Outbreak-nya Dustin Hoffman, Rec, sampe rela mantengin serial The Walking Dead yang release setiap Februari dan September, mirip kaya ibu-ibu yang keranjingan Uttaran. Menurut saya, nonton orang dikejar-kejar gerombolan zombie satu kota itu sangat menghibur. Meskipun temanya monoton dan gampang ditebak, ya seputar kelompok manusia yang dikejar-kejar dari kerumunan zombie itu, tapi bagi saya tetap saja menonton film zombie itu enak dan perlu. Di samping itu, sebrutal2nya zombie, mereka tidak pernah makan temen sendiri. Tidak seperti politisi senayan yang ngorbanin kawan se-partai-nya diciduk KPK.
Tidak mau tidur lagi setelah sahur, saya iseng nonton film yang habis didownload dari salah satu web film streaming yang bejibun jumlahnya di Indonesia. Film itu, Cell, sebenernya film biasa saja. Film yang dibuat berdasarkan Novel Stephen King ini tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan film blockbuster bertema Apocalypse lainnya. Di IMDB pun dapet nilai 4,5. Sayang juga sih, sekelas John Cusack dan Samuel L Jackson, main di film biasa-biasa saja. Kalau diibaratkan dalam dunia persilatan politik kita, kayak orang “sekelas” Andi Arief yang kini mau-maunya jadi buzzer-nya Ibu Ani Yudhoyono.
Sumber Foto : imdb
Ya, alur cerita film ini relatif sama dengan film “2012” yang juga dibintangi Cusack. Tentang Clay Ridell, seorang ayah yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan anak dan istrinya dari bencana kiamat (wabah Zombie) yang datang tiba-tiba. Ada tokoh pendukung semacam Tom McCourt (Samuel L Jackson), cewe muda cantik Alice (Isabelle Fuhrman), dan teman-teman di perjalanan yang duluan mati. Dramanya pun seputar tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarga, kehilangan orang yang dicintai dan keputusan untuk membunuh orang-orang terdekat karena berubah menjadi zombie. Sisanya, ya kejar-kejaran dengan kerumunan zombie.
Perbedaannya, dalam film ini tidak ada adegan menjijikan zombie makan otak manusia seperti di 28 Day Later. Tidak banyak juga adegan berkelahi atau tembak-tembakan ala Resident Evil. Dalam film ini, wabah zombie disebarkan melalui sinyal telepon seluler. Setiap orang yang menggunakan telepon seluler untuk menelepon (kecuali chat, main instagram dan twitter, atau kirim SMS) pada saat itu, akan terkena virus dan berubah menjadi zombie. Tidak ada landasan ilmiah bagaimana ini bisa terjadi, namanya juga film blockbuster, bukan tayangan National Geographic.
Penyebaran virus zombie ini diduga oleh kelompok tertentu, tetapi tidak dijelaskan dalam film ini siapa penyebar wabah ini dan apa kepentingannya. Uniknya, virus ini tidak hanya menghasilkan zombie yang agresif dalam mencabik-cabik manusia, tetapi membentuk zombie-zombie yang patuh. Misalnya, setiap malam tiba zombie akan berbaris dan mengeluarkan lagu yang sama pada saat tidur. Malahan pada sepertiga akhir cerita, zombie ini tidak mencabik-cabik manusia lagi, tapi mulai merekrutnya untuk menjadi zombie melalui suara yang diteriakan langsung ke telinga manusia. Tidak hanya zombie, virus ini juga membuat manusia dihantui mimpi buruk yang sama. Manusia yang masih selamat akan dicuci otak sehingga menyerah dan menurut pada kemauan si penyebar virus. Di akhir cerita, terdengar sayup-sayup anthem song Klub Liverpool, You’ll Never Walk Alone yang sangat syahdu mengiringi barisan zombie yang berjalan rapi dan teratur.
Nah, film ini memiliki pesan yang relevan dengan kondisi saat ini, yaitu kritik terhadap perilaku manusia modern sekarang yang sangat-sangat tergantung pada informasi yang diperolehnya melalui kemajuan teknologi komunikasi, khususnya smartphone. Tingkat penggunaan smartphone saat ini untuk memperoleh informasi di internet mulai menggeser media massa hingga laptop sekalipun. Smartphonizm ini berpotensi membentuk manusia-manusia yang seragam, tanpa daya kritis, dan sangat patuh. Secara simbolik, terdapat scene dalam film ini dimana tumpukan smartphone dibakar karena justru menimbulkan masalah bagi umat manusia.
Saat timeline media sosial dapat menggantikan berita pagi televisi, saat traffic “View-Like-Love-Share-Subscribe” menjadi hitungan utama dibandingkan jumlah eksemplar terjual, saat orang-orang lebih suka membagikan artikel di Mojok, Brillio, atau Rappler, saat majalah Yellowpages Telkom digantikan oleh googling, saat orang-orang lebih senang menonton Youtube dan Livescore dibanding nonton berita sepakbola sekalipun disampaikan oleh presenter ayu macam Auxilia Paramitha. Ya, saat itulah informasi memborbardir otak manusia, karena disebar tidak terpusat lagi tetapi justru secara merata dan sporadis oleh si penerima informasi itu.
Internet sebagai new media memang memudahkan umat manusia memperoleh informasi secara cepat dari belahan dunia manapun tanpa harus menunggu media massa yang menyebarkan. Melalui berbagai platform media sosial, masyarakat dapat berperan sebagai pemberi sekaligus penerima informasi dan secara dinamis dapat berinteraksi langsung dengan si penyebar informasi. Suara – suara yang kadangkala tidak terwakili di gedung-gedung parlemen, sekarang bisa lebih berperan dalam pressure melalui penggalangan solidaritas maupun petisi online, semua berkat media sosial. Sebagian peran demo-demo jalanan untuk menyampaikan protes pun bisa dilakukan dengan fasilitas mention ke akun pejabat publik. Sekarang, media massa juga sering menjadikan opini pengguna media sosial (netizen) sebagai parameter opini publik.
Tetapi, smartphone culture ini memiliki sisi negatif yaitu potensi tumpulnya daya nalar manusia untuk mengkritisi keshahihan informasi yang diperoleh maupun kredibilitas sumber informasi itu sendiri. Kemudahan mengklik tombol share, retweet, repath atau re-gram berakibat mudahnya informasi tersebar termasuk informasi Hoax dan fitnah. Akibatnya, khalayak saat ini mudah sekali untuk di-drive sesuai dengan kepentingan penyebar informasi, sehingga merubahnya menjadi layaknya kumpulan zombie yang taat seperti dalam film Cell ini.
Hal ini bisa dilihat dari kasus razia warung Ibu Saeni yang mengemuka beberapa minggu lalu, dimana mudahnya sebagian khalayak di setting ke dalam gorengan isu ada skema besar anti-Islam di Indonesia. Pembatalan beberapa Perda yang bermasalah oleh pemerintah pusat yang sebenarnya ditujukan untuk mempermudah penguasaan sumber daya alam dan akses publik oleh perusahaan – perusahaan besar dengan kedok investasi, tak luput dari gorengan isu ini. Pada akhirnya, alih-alih publik tercerdaskan dari kasus semacam ini, yang terjadi malah perkelahian di timeline dan comment facebook yang semakin tidak bermutu. Tak lupa, akun-akun kloningan atau anonim turut membangun opini melalui software hashtag sehingga menjadikannya trending topic, seolah-olah isu tersebut menjadi interest publik secara umum. Akun-akun kloningan, anonim ataupun selebtwit ini sejatinya adalah para zombie informasi yang telah terkena wabah. Dengan berbagai cara berupaya untuk menjadikan follower-nya juga menjadi zombie seperti mereka. Bedanya, mereka zombie bertarif tinggi, sedangkan masyarakat biasa tetaplah menjadi zombie kelas bawah yang berebut daging-daging sisa.
Analisa dari akun seleb-medsos macam Piyungan, Jonru atau Kurawa dalam sederet kultwit singkat seringkali lebih dijadikan referensi shahih dibandingkan hasil investigasi jurnalistik ataupun jurnal ilmiah. Mereka inilah penerus Trio Macan yang lebih dulu kaya tapi keburu kebongkar dan tak laku lagi. Dalam contoh yang lain, kita dapat dengan mudah menyimak serangan membabi-buta para pendukung cyber Ridwan Kamil terhadap akun yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan sang Walikota. Begitu pula banyak akun-akun tim sukses calon Gubernur Ahok dan rivalnya dari level konsultan resmi hingga buzzer yang secara militan tak bosan-bosannya menyerang kelompok lain dan membela mati-matian calonnya. Semua tak lebih dari para zombie-zombie yang telah diprogram menjelang Pilkada untuk manut dan patuh pada bos mau bagaimanapun kondisinya.
Publik harus diselamatkan dari endemik kebodohan ini. Tetapi, dalih bahwa publik perlu pencerdasan dalam memperoleh informasi tidak lantas membuat kita mengambil langkah aneh dan tak berdasar seperti yang dilakukan oleh ICMI yang meminta pemerintah memblokir Google dan Youtube. Langkah ini justru akan menjadikan publik menjadi zombie – zombie jenis baru : Zombie tuna-informasi, zombie kuper, zombie gaptek, dan zombie gak-update. Yang perlu dilakukan adalah dengan memanfaatkan berbagai media yang ada untuk melakukan edukasi secara massif agar masyarakat tidak mudah terkena wabah ini. Akun twitter semacam @enigmablogger yang khusus membedah informasi-informasi hoax di dunia maya patut diapresiasi dan dijadikan salah satu model, sehingga gerombolan zombie ini tidak meluas. Menyebarkan informasi yang terpercaya, mengenali akun-akun penyebar fitnah atau setidaknya menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya, adalah cara untuk menghindari wabah ini. Mengutip @ZenRs, kita juga harus membiasakan membaca buku, agar otak kita lebih lincah daripada mulut-dan bahkan jari ketika berselancar di dunia maya.
Biarkanlah para politisi korup, konsultan politik cyber beserta buzzer-buzzer bayaran itu menjadi kawanan zombie dungu yang berjalan di barisannya sendiri-tanpa pengikut, sambil kita menontonnya dan dadah-dadah dari pinggir jalan dengan menyanyikan lagu You’ll Never Walk With Us.
Sumber : pixabay.com
*barista di Ngopimovement.org